
Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menyelenggarakan Kuliah Internasional yang menghadirkan sejarawan dan penulis, David Van Reybrouck, untuk membahas bukunya yang berjudul “Revolusi: Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World” pada Rabu (22/10/2025) di kampus Jentera. Kuliah internasional ini bertujuan untuk mengeksplorasi perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai momen penting dalam kisah dekolonisasi global serta bagaimana warisannya terus membentuk hukum serta demokrasi kontemporer.
Dalam sambutannya, Ketua STH Indonesia Jentera Aria Suyudi menyampaikan apresiasinya atas kehadiran David Van Reybrouck dan menekankan pentingnya isi buku “Revolusi”. Menurutnya, buku ini bukan hanya catatan sejarah perjuangan Indonesia, melainkan sebuah narasi yang memposisikan proklamasi 1945 sebagai salah satu drama penentu abad ke-20 dan lahirnya dunia pasca-kolonial modern. “Menghargai sejarah berarti lebih dari menghafal tanggal dan nama, lebih dari itu, kita mempelajari, memperdebatkan, dan belajar dari kompleksitas masa lalu. Sehingga kita bisa memahami masa kini dan merencanakan masa depan,” ungkap Aria Suyudi.
Dalam kuliahnya, David memaparkan alasannya sebagai orang Belgia menulis sejarah Indonesia. Ia menegaskan bahwa Revolusi Indonesia bukanlah sebatas sejarah nasional bagi Belanda atau Indonesia saja, melainkan “Sejarah dunia” (World history). “Indonesia adalah negara pertama yang memproklamasikan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa Konferensi Bandung pada 1955 adalah “pertunjukan perdana dunia” (world premiere) lainnya, di mana Indonesia mengajarkan kepada dunia bagaimana proses dekolonisasi seharusnya berjalan. Model dekolonisasi yang ditawarkan Indonesia adalah model yang cepat, mencakup seluruh teritori, dan melibatkan semua kekuatan. “Kita butuh 100% kebebasan, 100% kekuasaan atas seluruh teritori,” ungkap Van Reybrouck, merangkum semangat revolusi saat itu.
Lebih lanjut, Van Reybrouck, yang dilatih sebagai arkeolog, menceritakan pendekatan metodologinya yang “duniawi”. Ia menyadari bahwa perspektif mayoritas penduduk yang mungkin buta huruf tidak akan ditemukan dalam arsip resmi kolonial. Untuk itu, ia beralih ke sejarah lisan (Oral history) dan mewawancarai sekitar 200 saksi mata di seluruh Indonesia, Jepang, dan Belanda. Ia juga berbagi kisah saat mewawancarai Siti Aisha, seorang perempuan yang pada usia 14 tahun bergabung dengan Tentara Pelajar di Kalimantan, yang pada awalnya bertugas sebagai juru masak namun kemudian menjadi kombatan.
Dalam upaya mengejar waktu untuk bertemu para saksi yang sudah sangat lanjut usia, Van Reybrouck bahkan menggunakan metode yang tidak konvensional. “Saya memutuskan mencari sakis di media sosial, saya mulai menggunakan Tinder,” ujarnya. Ia membuat profil dengan teks dalam Bahasa Indonesia yang menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang penulis sejarah dan ingin menggali informasi mengenai sejarah. Metode ini berhasil membantunya menemukan beberapa saksi mata.
Sebagai penutup, David juga mengupas kompleksitas revolusi. Ia mengingatkan bahwa sejarah tidak sederhana, seperti narasi “Indonesia melawan Belanda”. Di dalam pergerakan Indonesia sendiri terdapat beragam ideologi, seperti Islam, komunisme atau sosialisme, dan nasionalisme. Ia juga menyoroti peran pemuda sebagai salah satu fitur paling menonjol dalam sejarah politik Indonesia, yang menurutnya terus menjadi kekuatan penting dalam menjaga semangat kebebasan dan perubahan.