preloader

Mengenali Tren Tindak Pidana Pencucian Uang

Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menyelenggarakan International Lecture dengan tajuk “Fighting Money Laundering: A United Kingdom Perspective” pada Selasa (16/092025). Kuliah ini menghadirkan Ilaria Zavoli, pengajar dari School of Law, University of Leeds, Inggris, sebagai pembicara untuk memberikan perspektif global mengenai kerangka hukum dan tantangan dalam memberantas praktik pencucian uang.

Dalam paparannya, Zavoli menekankan bahwa pemberantasan pencucian uang tidak lagi hanya berfokus pada pelaku kriminal “tradisional”, tetapi juga pada para fasilitator seperti akuntan, profesional hukum, dan agen properti yang memungkinkan kejahatan ini terjadi, baik karena keterlibatan langsung maupun kelalaian. “Ini adalah kejahatan kerah putih,” ujarnya, merujuk pada lingkungan profesional.

Zavoli menjelaskan pencucian uang sebagai proses mengubah “uang kotor” dari hasil kejahatan menjadi aset yang tampak sah. Proses ini umumnya melalui tiga tahap, penempatan (placement), pelapisan (layering), integrasi (integration). Secara global, jumlah uang yang dicuci setiap tahunnya diperkirakan mencapai 3% hingga 5% dari total PDB dunia. Di Inggris saja, angkanya diperkirakan antara £30 miliar hingga £100 miliar per tahun.

Terdapat beberapa “tanda bahaya” (red flags) dalam transaksi properti yang harus dijadikan perhatian, seperti pembeli dengan kekayaan yang tidak dapat dijelaskan, individu yang terpapar politik (Politically Exposed Persons/PEPs), penggunaan mata uang kripto, dan praktik property flipping yaitu membeli properti lalu segera menjualnya kembali. Praktik ini bahkan telah menyebabkan beberapa area di pusat kota London menjadi “terdepopulasi”, di mana gedung-gedung dimiliki oleh investor tetapi tidak berpenghuni, sehingga mendorong harga naik dan memaksa penduduk lokal pindah ke pinggiran.

Oleh karenanya, sektor-sektor yang diatur seperti agen real estate menanggung beban ekonomi dan administrasi untuk melakukan pemeriksaan due diligence pelanggan tanpa pendanaan dari pemerintah. Hal ini menciptakan konflik kepentingan antara menjalankan bisnis dan mematuhi regulasi Anti-Money Laundering. Serta, regulasi sering kali dibuat dengan pendekatan dari atas ke bawah (top-down), tanpa cukup melibatkan para praktisi yang harus menerapkannya di lapangan.

Zavoli menutup sesinya dengan menyatakan bahwa Indonesia memiliki tanggung jawab dan potensi besar untuk menjadi pemimpin dalam perlawanan pencucian uang di Asia Tenggara. Menurutnya, rezim anti-pencucian uang global tidak akan efektif jika tidak memperhitungkan suara dari semua negara, bukan hanya dari kekuatan ekonomi tradisional Barat. “Ini bukan lagi hanya tentang negara-negara Barat. Saya sangat percaya bahwa ada ruang besar bagi Indonesia dalam memberantas praktik pencucian uang ini,” tutupnya.