preloader

Pedoman Pemaknaan Pasal Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS)

Tindak pidana yang saat ini dikategorikan oleh peraturan perundangan sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tercatat dan dirasakan sebagai gejala gunung es di Indonesia, dan mungkin di manapun di dunia. TPKS terjadi di banyak tempat, dan seringkali di tempat yang dari luar tampak aman dan tentram—dari perkantoran modern, lembaga negara, pabrik-pabrik, institusi akademik, komunitas tradisional, pesantren, gereja, kuil, hingga rumah-rumah pribadi. Ini juga bukan fenomena zaman modern, melainkan jauh lebih lama ke belakang. Ia sudah mengakar di etikakat, etika moral, budaya malu, dan tabu masih menjadi pegangan utama masyarakat.

Statistik TPKS yang aktual sayangnya tidak akan pernah terungkap, karena pihak korban umumnya tidak punya keberanian, terkungkung rasa malu. Ditambah juga keluarga dan lingkungan terdekat yang tidak mendukung, serta sikap penegak hukum yang seringkali tidak menganggap TPKS sebagai urusan domestic dan bukan sebagai prioritas penegakan hukum dalam tupoksi mereka, sehingga tidak cukup bisa dibuktikan dengan sistim pembuktian tradisional yang dianut hukum acara pidana yang berlaku. Dalam banyak kasus, korban yang umumnya Perempuan, anak-anak, serta golongan rentan lain tidak mampu—atau tidak dimampukan—untuk bersuara. Perkara TPKS menjadi perhatian kalau sudah ada korban fatal atau luka berat yang menarik perhatian
masyarakat.

Suara korban oleh karenanya menjadi elemen penting dalam penanganan TPKS. Kini ruang untuk itu lebih terungkap lebar—konsekuensi dari sekian terobosan, dari perkembangan cepat teknologi baru the internet of things, media sosial dan media elektronik, eksposur lebih besar ke dunia luar yang sudah menganggap ini “kejahatan serius”, gerakan #MeToo, dan alam reformasi yang membuka ruang untuk berani bicara dan menepis malu. Setelah jalan panjang yang dilalui, baik di tanah air maupun di luar sana, perumus kebijakan dan pengambil keputusan serta penegak hukum akhirnya terpaksa membuka mata dan hati. Di tanah air, legislatif akhirnya meloloskan Undang-Undang TPKS Nomor 12 Tahun 2022 (UU TPKS).

Peraturan perundangan adalah huruf mati, sampai ia berada di tangan dan di hati pelaksananya. Demikian juga dengan UU TPKS. Kegamangan para pelaksananya bisa terlihat, karena budaya mentolerir dan mendiamkan TPKS sudah terlalu lama mengakar, dan ini menempatkannya berada dalam ruang keragu-raguan. Perlu ada suatu cara pandang baru, budaya baru, lembaga baru, keberanian baru, dan tindakan baru yang jelas dan tegas dalam mencegah dan menangani TPKS.

Untuk itulah Pedoman Pemaknaan Pasal UU TPKS digagas dan disiapkan oleh teman-teman dari Lembaga Bantuan Hukum, LBH APIK, KOMNAS Perempuan dan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dengan dukungan VOICE. Pedoman ini penting dan relevan untuk memperkaya, menjelaskan, membuka pikiran, dan menjadi rujukan dalam pelaksanaan UU TPKS. Pencegahan dan penanganan TPKS tidak hanya melibatkan bukan hanya penegak hukum yang biasa membaca dan menafsirkan pasal-pasal, tapi juga para ahli, tenaga kesehatan, pekerja sosial, tokoh atau petugas agama, korban, keluarga, masyarakat, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kepentingan lain. Semua pihak memerlukan bahan banding dan rujukan untuk mengerti, mendalami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU TPKS dengan baik dan benar. Bahkan para penegak hukum juga perlu memahami apa yang ada dalam benak dan pemikiran para pembuat UU TPKS, sejarah TPKS, permasalahannya sebagai gejala sosial dan budaya masyarakat, kasus terkait yang sedang ditangani yang fakta dan latar belakangnya mungkin berbeda dengan kasus-kasus lain. Menangani TPKS bukan saja bermodalkan keinginan untuk menghukum, tapi juga wajib memperhatikan banyak aspek lain yang tidak kurang pentingnya, yaitu mengembalikan martabat dan memanusiakan kembali korban, merawat luka kejiwaan yang tertoreh dalam, memberi kehidupan baru bagi korban dan keluarganya, dan mendidik serta memberi kesadaran baru bagi asyarakat luas. Semua ini sedapat mungkin perlu dilakukan demi membentuk budaya baru untuk mencegah TPKS dalam semua ruang hidup dan lapisan masyarakat.

Atas nama Jentera, saya ucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya atas hasil kerja semua anggota tim penyusun yang terlibat dalam riset, diskusi dan penulisan Pedoman ini. Semoga Pedoman ini betul-betul efektif digunakan sebagai rujukan dan pedoman oleh semua pihak yang terlibat dalam pencegahan dan penanganan TPKS.

 

Unduh File:

BUKU-APKS_Preview-Ebook_Single-Page

Dipublikasikan oleh:

Asfinawati

Asfinawati merupakan advokat hak asasi manusia yang konsisten memperjuangkan hak-hak kaum minoritas yang tertindas dan pencari keadilan.

Reny Rawasita Pasaribu

Reny merupakan salah satu pengajar dan Staf Bagian Pelatihan dan Beasiswa Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera yang bertugas untuk mengadakan pelatihan-pelatihan hukum. Selain itu ia juga bertanggung jawab membangun skema dan relasi dengan lembaga donor untuk pembiayaan kegiatan-kegiatan di Jentera.