preloader

Monev Regulasi, Antisipasi “Tren” Deregulasi Saat Krisis

Krisis ekonomi yang sedang dihadapi saat ini mendorong pemerintah mengambil keputusan melakukan deregulasi sejumlah peraturan yang dianggap menjadi penghambat pembangunan.
Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution menyebutkan ada 134 peraturan yang masuk dalam paket deregulasi dalam waktu dekat ini. Meliputi 17 Peraturan Pemerintah, 11 Peraturan Presiden, 2 Instruksi Presiden, 96 Peraturan Menteri, dan 8 peraturan lainnya (hukumonline.com).
Tak hanya itu, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN) pun juga ikut bergerak. Kementerian ini akan memimpin sebuah komite khusus yang dibentuk untuk mendorong reformasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Sofyan Djalil menyebutkan ada 2.700 peraturan yang berpotensi menghambat pembangunan (bappenas.go.id).
“Sofyan Djalil menyebutkan ada 2.700 peraturan yang berpotensi menghambat pembangunan”
Regulasi sering dinilai menjadi penghambat pembangunan dalam kondisi tertentu sehingga paket deregulasi menjadi pilihan cepat bagi pemerintah yang berusaha keluar dari krisis. Padahal regulasi itu sendiri dibuat oleh pemerintah.
Deregulasi dalam bentuk penyederhanaan pengaturan atau pencabutan bisa dilakukan kapan saja, di luar masa krisis. Pertanyaannya apakah hambatan itu tidak dapat diidentifikasi oleh pemerintah ketika tidak dalam keadaan krisis? Bagaimana sistem perundang-undangan kita mengatur hal ini?
Persoalan Penumpukan Regulasi
Dalam sistem hukum di Indonesia, peraturan perundang-undangan atau regulasi menjadi penopang utama negara hukum. Sesuai dengan komitmen bersama dalam konstitusi, Indonesia adalah negara hukum.
Sistem perundang-undangan mengenal berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Kewenangan membentuknya menyebar di berbagai lembaga pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Sebagai penopang utama negara hukum, tidak mengherankan jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sangat banyak. Namun, sulit menyebutkan atau mencari rujukan angka pasti jumlah peraturan yang masih berlaku.
Situs peraturan.go.id yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM menyediakan 32.806 (data 16 September 2015). Jumlah ini sangat mungkin lebih besar. Terutama untuk peraturan di tingkat teknis atau peraturan di tingkat daerah.
Jumlah peraturan perundang-undangan yang sangat besar ini berpotensi menimbulkan persoalan harmonisasi dan konsistensi pengaturan di antara berbagai peraturan yang berkaitan sehingga memicu permasalahan dalam implementasi.
“Jumlah peraturan perundang-undangan yang sangat besar ini berpotensi menimbulkan persoalan harmonisasi dan konsistensi pengaturan di antara berbagai peraturan”
Seperti yang ditemukan Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian PPN, dengan jumlah yang berbeda, menemukan peraturan perundang-undangan yang menjadi kendala dalam pembangunan. Angka regulasi yang bermasalah itu baru seputar materi sektor ekonomi atau investasi.
Jumlahnya semakin besar apabila menyentuh bidang sosial, politik, dan lainnya. Terlebih lagi, apabila tidak dilakukan perubahan mendasar dalam sistem perundang-undangan, produksi peraturan perundang-undangan terus akan dilakukan.
Penambahan ini juga dipengaruhi adanya kecenderungan yang menganggap peraturan perundang-undangan menjadi solusi atau pra syarat dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat.
Kecenderungan lainnya yang muncul adalah keinginan mengatur profesi dalam undang-undang. Contoh Undang-Undang Nomor 11/2014 tentang Keinsinyuran, UU Nomor 38/2014 tentang Keperawatan sehingga persoalan yang sebenarnya bukan materi perundangan-undangan diatur dalam produk hukum itu.
Persoalan yang muncul dengan peraturan yang sudah berlaku (existing regulation) belum mampu diselesaikan. Justru akan bertambah dengan persoalan-persoalan baru dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk dengan kecenderungan yang ada saat ini.
“Persoalan yang muncul dengan peraturan yang sudah berlaku (existing regulation) belum mampu diselesaikan”
Legislasi, Tidak Selalu Soal Membentuk
Proses legislasi seringkali dimaknai dengan proses membuat peraturan perundang-undangan yang berhenti sampai dengan adanya produk dari proses tersebut.
UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mendefinisikan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Definisi normatif dalam Undang-Undang tersebut mengatur bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai dengan perencanaan dan berakhir saat pengundangan sehingga yang dilakukan oleh pembentuk peraturan adalah membuat peraturan sesuai dengan kewenangannya.
“Definisi normatif dalam Undang-Undang tersebut mengatur bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai dengan perencanaan dan berakhir saat pengundangan”
Padahal dinamika yang terjadi setelah peraturan selesai dibentuk juga menjadi area yang harus dipantau oleh pembentuk peraturan.
Implementasi peraturan merupakan kondisi riil yang dapat menunjukkan adanya persoalan dalam peraturan perundang-undangan, seperti tumpang tindih peraturan, inkonsistensi, maupun pertentangan antarperaturan.
Efektivitas peraturan diuji dengan situasi yang nyata. Temuan-temuan dalam implementasi seharusnya menjadi umpan balik bagi pembentuk peraturan perundang-undangan untuk memutuskan tindakan yang harus dilakukan dalam mengatasi permasalahan peraturan tersebut.
Di sinilah perlunya proses legislasi juga memasukkan tahapan pengawasan pelaksanaan (monitoring dan evaluasi). Jadi tidak sekedar membentuk atau memproduksi tetapi juga memantau hasil dari proses pembentukan tersebut di dalam implementasi.
Dengan adanya monitoring dan evaluasi ini antisipasi situasi yang buruk akibat regulasi atau peraturan dapat dicegah. Bukan reaksi atau respon yang baru muncul ketika akibat sudah menjalar dan sulit dikendalikan. Seperti kebijakan deregulasi yang diambil pemerintah saat ini.
Deregulasi bukan tindakan yang keliru. Namun pemerintah dan lembaga negara lainnya yang memiliki wewenang membentuk peraturan perlu menyadari pentingnya monitoring dan evaluasi terhadap peraturan.
Dengan mengandalkan regulasi sebagai perwujudan negara hukum maka perlu proses pemantauan regulasi setelah dibentuk.
Hasilnya tidak sekedar identifikasi dan tindaklanjut persoalan regulasi akan tetapi juga dapat menjadi bahan dalam melakukan perencanaan legislasi sehingga proses legislasi atau pembentukan peraturan menjadi siklus yang berhubungan sejak perencanaan sampai pengundangan, dilanjutkan monitoring evaluasi. Bersambung lagi dengan perencanaan.
“Hasilnya tidak sekedar identifikasi dan tindaklanjut persoalan regulasi akan tetapi juga dapat menjadi bahan dalam melakukan perencanaan legislasi”
Lembaga Khusus Monev Regulasi
Sebagai tahapan yang terabaikan dalam proses legislasi saat ini, belum ada lembaga yang khusus melakukan fungsi monitoring evaluasi regulasi. Padahal fungsi monitoring evaluasi sangat perlu dilakukan secara rutin dan permanen masuk dalam tahapan proses legislasi.
Lembaga yang berhubungan dengan perundang-undangan masih berkutat pada perencanaan, penyiapan, pembahasan sampai dengan pengundangan dengan hasil akhir naskah akademik maupun naskah peraturan perundang-undangan.
Fungsi yang diatur setelah pengundangan sebatas pada penyiapan menjalani sidang judicial review peraturan perundang-undangan terkait.
Kurangnya perhatian atau bahkan tidak adanya perhatian terhadap kebutuhan monitoring dan evaluasi ini bisa dilihat dari struktur organisasi yang terdapat di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM.
Ditjen ini memiliki fungsi di bidang peraturan perundang-undangan. Struktur organisasinya meliputi Direktorat Perancangan, Direktorat Fasilitasi Peraturan Daerah, Direktorat Harmonisasi, Direktorat Pengundangan, Publikasi dan Kerjasama Perundang-undangan, dan Direktorat Litigasi.
Susunan organisasi dalam Direktorat Jenderal yang sangat berhubungan dengan peraturan perundang-undangan tersebut mencerminkan pelaksanaan tugas pembentukan peraturan perundang-undangan sampai dengan pengundangan dan litigasi dalam hal terdapat judicial review.
Tidak ada unit kerja yang memiliki tugas melakukan monitoring evaluasi atau analisis peraturan perundang-undangan yang sudah dibentuk. Semua unit bekerja untuk tahapan sampai menghasilkan peraturan perundang-undangan.
“Tidak ada unit kerja yang memiliki tugas melakukan monitoring evaluasi atau analisis peraturan perundang-undangan yang sudah dibentuk”
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila kekacauan kualitas peraturan perundang-undangan yang terjadi tidak mudah diselesaikan. Bahkan selama ini tidak pernah tersentuh.
Solusi yang ditempuh seringkali dengan membentuk peraturan baru. Tanpa melihat apakah substansi pengaturannya masih diperlukan atau tidak.
Padahal dalam kewenangan membentuk peraturan perundang-undang juga melekat kewenangan untuk mencabut. Fungsi mencabut ini yang jarang sekali digunakan.
Kebijakan deregulasi dan pernyataan banyaknya peraturan yang justru menghambat pembangunan di awal tulisan ini, menegaskan perlunya dibentuk lembaga khusus yang menangani monitoring evaluasi peraturan perundang-undangan.
Peran dan fungsinya tidak bisa dianggap menjadi tugas “sampingan” dari lembaga yang berhubungan dengan perundang-undangan yang sudah ada saat ini. Tidak bisa juga peran ini dijalankan melalui fungsi koordinasi yang berisikan unsur Kementerian/Lembaga.
Namun yang diperlukan adalah lembaga khusus yang fungsinya mengawasi dan menganalisis berbagai peraturan (existing regulation) yang menimbulkan persoalan di masyarakat. Hasilnya adalah rekomendasi yang harus ditindaklanjuti pembentuk peraturan perundang-undangan.
“Namun yang diperlukan adalah lembaga khusus yang fungsinya mengawasi dan menganalisis berbagai peraturan (existing regulation) yang menimbulkan persoalan di masyarakat”
Proses ini sebaiknya diawali di wilayah eksekutif sebagai pemegang kewenangan membentuk beberapa jenis peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Selain itu, pengaturan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bersifat teknis yang kerap menjadi kendala di dalam implementasi. Lembaga khusus ini diharapkan dapat mengidentifkasi persoalan regulasi sejak awal sehingga langkah-langkah antisipatif dapat dilakukan sejak awal.
Keberadaan lembaga ini mutlak diperlukan, sama halnya dengan kebutuhan monitoring evaluasi untuk mencapai sistem perundang-undangan yang mendukung pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, tertib peraturan perundang-undangan, dan kepastian hukum.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh www.selasar.com pada tanggal 13 November 2015. Artikel ini dapat diakses melalui tautan berikut:
https://www.selasar.com/politik/monev-regulasi-antisipasi-tren-deregulasi-saat-krisis#