preloader

Tantangan Tata Kelola Pemerintahahan Daerah di Masa Pandemi


Selama satu setengah tahun terakhir, banyak pemerintah daerah yang harus bekerja lebih keras dalam menangani pandemi Covid-19. Kerja-kerja tersebut harus berhadapan dengan kondisi yang serba terbatas dari segi anggaran, sumber daya manusia, dan pemenuhan fasilitas kesehatan. Karenanya pemerintah daerah harus melakukan banyak penyesuaian dengan jalan refocusing program dan realokasi anggaran. Dampak dari hal tersebut adalah pelayanan publik pemerintah daerah pada sektor yang lain, selain sektor kesehatan, menjadi tersendat dan perlu penanganan beradaptasi terhadap pandemi.
Hal tersebut disampaiakan oleh pakar otonomi daerah sekaligus Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Djohermansyah Djohan, dalam Kuliah Umum Mata Kuliah Desentralisasi dan Otonomi Daerah bertajuk “Tantangan Pelaksanaan Asas Otonomi Daerah dalam Tata Kelola Pemerintah Daerah di Tengah Pandemi Covid-19” pada Senin (20/9/2021) secara daring.
Menurut Prof. Djo, bencana non-alam seperti pandemi ini termasuk dalam isu besar otonomi daerah dan melengkapi isu-isu lain selama dua dekade pascareformasi seperti tarik-menarik kewenangan, pemekaran darah, korupsi kepala daerah, politisasi birokrasi, dan lainnya. Dampak pandemi terhadap otonomi daerah menurut Prof. Djo di antaranya adalah regulasi pemerintah daerah yang belum siap dan belum koheren dengan pemerintah pusat terkait penanganan pandemi. Selain itu, dengan sumber daya yang terbatas, pemerintah daerah dituntut untuk refocusing program maupun anggaran pada upaya meminimalisir penyebaran pandemi dan jatuhnya korban. Ketidaksiapan sumber daya tersebut membuat pemerintah daerah kurang optimal dalam menangani penyebaran pandemi, juga berdampak pada tersendatnya pengaturan pada sektor riil yang lain seperti pendidikan, kesejahteraan rakyat, hingga infrastruktur. Dengan pandemi yang memaksa pembatasan jumlah orang, pemerintah daerah juga terkesan gagap dalam beradaptasi, sehingga birokrasi dinilai mengarah pada situasi “idle”, yang tentu berimbas pada kurang optimalnya pelayanan publik.
Prof. Djo menyebut beberapa hal penting untuk diupayakan lebih lanjut agar birokrasi pemerintah daerah dapat beradaptasi dengan lebih baik dalam menghadapi kejadian luar biasa seperti pandemi. Kaitannya dengan pandemi, dengan ditetapkannya pandemi Covid-19 sebagai bencana nasional, pemerintah pusat akan menjadi panglima tertinggi dalam penanganannya. Hal tersebut sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang menempatkan Presiden sebagai Chief of Executive dan memimpin secara penuh upaya negara dalam penanganan pandemi. Upaya tersebut diwujudkan dengan menetapkan regulasi, membentuk satgas penanganan, implementasi kebijakan pembatasan, penyediaan kebutuhan dasar, dan pemenuhan sumber daya kesehatan guna penanganan pandemi. Terkait relasi dengan pemerintah daerah, pemerintah pusat juga perlu melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan secara efektif dengan provinsi, kabupaten, dan kota. Di sisi yang lain, pemerintah daerah juga perlu untuk menyambut koordinasi pemerintah pusat, dengan menyiapkan regulasi turunan, melakukan realokasi anggaran untuk penanganan pandemi, dan penyiapan fasilitas kesehatan di daerah.
Prof Djo menegaskan bahwa agar penanganan pandemi di daerah dapat berjalan dengan lebih optimal, maka sistem kontrol dari pemerintah pusat perlu untuk diperbaiki. Perbaikan tersebut menyangkut regulasi yang tegas, komando yang terpusat dan disiapkan dengan matang sehingga tidak berubah-ubah, dan pemenuhan sumber daya kesehatan yang lebih merata seperti vaksin, alat pelindung diri (APD), fasilitas rumah sakit, tunjangan tenaga kesehatan, dan lainnya. Selain itu, pemerintah pusat juga dituntut untuk lebih mendengar dan memahami pendapat dari pemerintah daerah, karena pemerintah daerah yang lebih memahami situasi riil di lapangan.
Namun, dari berbagai permasalahan terkait penanganan pandemi ini, Prof. Djo masih melihat beberapa hal yang apabila dapat diupayakan dengan lebih baik akan memperkuat kinerja pemerintah daerah khususnya, dan proses otonomi daerah pada umumnya. Pertama, dengan pembatasan pergerakan orang di waktu pandemi, memaksa pemerintah daerah untuk memaksimalkan fasilitas digital dalam pelayanan terhadap masyarakat. Apabila digitalisasi birokrasi ini disiapkan dan diimplementasikan dengan baik, maka pelayanan publik dan pelaksanaan kinerja birokrasi akan berjalan lebih efektif dan efisien. Kedua, terkait relasi dengan pemerintah pusat, pemerintah pusat memiliki alasan konkret dan mendesak untuk menata kembali transfer kewenangan yang lebih sesuai dengan kemampuan daerah. Selain itu, pemerintah pusat dapat mengevaluasi kembali pola koordinasi, pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah, sehingga lebih efektif dan memberi porsi serta dorongan agar pemerintah daerah semakin mandiri.