preloader

Reformasi Hukum Ekonomi Harus Terarah dan Berkelanjutan

Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera bersama dengan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menyelenggarakan Panel 9 Indonesia-Netherlands Legal Update (INLU) 2022 bertema Prospect of Economic Law Reform to Prepare the Post-Pandemic Economic Recovery pada Jumat (23/9/2022) lalu. Tema tersebut terkait dengan agenda Reformasi Hukum Ekonomi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) dan didasarkan pada kesimpulan Panel Membangun Sistem Penegakan Keputusan Perdata yang Efektif pada INLU 2019.

Dalam diskusi tersebut, Hakim Agung Syamsul Maarif menuturkan bahwa peraturan di Indonesia mengalami hiper-regulasi, saling bertentangan, tumpang tindih, dan tidak taat asas. Sebaliknya, pada sektor hukum ekonomi, yang terjadi justru adalah stagnasi regulasi, yang ditandai dengan lambannya reformasi regulasi di sektor hukum untuk menyesuaikan dengan praktik terbaik dan mengantisipasi kebutuhan perkembangan pasar.

Untuk mengatasi hal tersebut, Mahkamah Agung melakukan beberapa terobosan sehingga proses putusan cepat dan berbiaya murah, antara lain transparansi putusan, menyelenggarakan e-court dan e-litigasi, serta prosedur gugatan sederhana. Saat ini Mahkamah Agung juga mengembangkan aplikasi bagi proses putusan pasca-pailit, penyusunan Peraturan Mahkamah Agung bagi pembaruan pelaksanaan eksekusi secara umum, dan kajian tentang penguatan desain institusional sistem eksekusi perdata. “Quick wins yang saat ini tengah dilakukan Mahkamah Agung adalah simplifikasi permohonan eksekusi atas Hak Tanggungan dan Hak Jaminan Fidusia melalui sistem informasi”, ungkap Syamsul Maarif.

Professor of Business Law Erasmus University Rotterdam, Martijn Scheltema dalam paparannya menjelaskan mengenai pemulihan ekonomi pasca-Covid-19 dan perkembangan hukum ekonomi di Belanda. Martijn menuturkan bahwa ketika pandemi terjadi Covid-19 terjadi pada 2020, Belanda melakukan perubahan sistem kepailitan untuk mempermudah proses peradilan. Sebelumnya pada Januari 2019, Netherlands Commercial Court (NCC) didirikan untuk menangani perselisihan bisnis internasional, memiliki kekuasaan untuk menetapkan putusan sementara, dan dirancang untuk menangani proses litigasi yang lebih kompleks.

Koordinator Bidang Penerapan dan Penegakan Hukum dan HAM di Direktorat Hukum dan Regulasi Bappenas, Tanti Dian Ruhama menuturkan beberapa upaya reformasi hukum ekonomi yang perlu dilakukan, antara lain evaluasi atas kedayagunaan dan relevansi regulasi bidang ekonomi dengan perkembangan zaman dan percepatan penyusunan regulasi dalam bidang ekonomi untuk kemudahan berusaha dan perbaikan iklim investasi. Tanti juga menambahkan perlunya penguatan kerja sama dan koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait dalam upaya perbaikan Layanan Keperdataan untuk mendukung kemudahan berusaha.

Partner di firma hukum Assegaf Hamzah & Partners yang juga merupakan pengajar STH Indonesia Jentera, Ibrahim Assegaf, menuturkan bahwa terdapat ekspektasi dari komunitas bisnis dalam mewujudkan kemudahan berusaha di Indonesia seperti reformasi birokrasi dan prediktabilitas proses dan kemungkinan hasil yang lebih baik sehingga lebih sedikit penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Ibrahim, hukum ekonomi yang saat ini memerlukan reformasi cukup banyak, sehingga reformasi perlu dilakukan pada regulasi yang memiliki dampak paling luas, fokus pada efisien dan kemudahan, serta fokus pada eksekusi.

Pengajar STH Indonesia Jentera, Aria Suyudi memaparkan mengenai Global Performance Indicator dan pengaruhnya terhadap reformasi regulasi. Menurut Aria meski penerbitan indeks Ease of Doing Business (EoDB) dihentikan sejak 2021, tidak berarti agenda reformasi terkait kemudahan berusaha menjadi berhenti. Ke depan, akan tetap ada kebutuhan untuk melanjutkan agenda reformasi hukum ekonomi secara terarah dan berkelanjutan. “World Bank Group berencana menerbitkan indeks Business Enabling Enviroment (BEE) sebagai penerus dari EoDB. Hal ini patut diantisipasi sebagai dasar dari strategi pembaruan kebijakan hukum ke depannya,” ungkap Aria.

Menurut Aria, indeks BEE memiliki kesamaan dan beberapa pergantian nama dari indeks EoDB. Konsep dasar indeks BEE meliputi dua hal, pertama kerangka hukum yang akan mempertimbangkan kualitas regulasi seperti transparansi, kejelasan, prediktabilitas, dan beban regulasi. Yang kedua mengenai pelayanan publik yang mempertimbangkan pengaturan institusional, infrastruktur, dan program yang memungkinkan pemerintah untuk memberikan pelayanan publik yang penting bagi berfungsinya pasar.