preloader

Prof. Topo: Implementasi KUHP Baru Menghadapi Tantangan Besar

Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menggelar kuliah umum dengan tema “Orientasi Hukum Pidana Indonesia Masa Depan: Kaitan dengan HAM dan Pekerjaan Rumah Menuju 2026”, yang disampaikan oleh Prof. Topo Santoso, Guru Besar Luar Biasa STH Indonesia Jentera pada Senin (17/2/2025). Kuliah ini menjadi pembuka semester untuk mata kuliah Hukum Pidana.

Dalam pengantar acara, Rifqi Assegaf selaku moderator sekaligus pengajar STH Indonesia Jentera, menekankan bahwa diskusi ini sangat relevan mengingat Indonesia akan mulai menerapkan KUHP Baru pada Januari 2026.

Prof. Topo mengawali pemaparannya dengan menjelaskan konsep dasar hukum pidana, termasuk perbedaan antara ius poenale (hukum pidana sebagai aturan) dan ius puniendi (hak negara untuk menghukum). Ia juga menguraikan hubungan antara hukum pidana materil dan formil serta peran penting keduanya dalam sistem peradilan.

Salah satu pokok bahasan utama yang disampaikan Prof. Topo adalah perubahan paradigma hukum pidana Indonesia. Ia menjelaskan bahwa meskipun hukum pidana bersifat represif, kini muncul kecenderungan baru untuk mengadopsi pendekatan restorative justice dan non-prosecution agreement (NPA) seperti yang diterapkan di negara-negara berbasis common law. Pendekatan ini memungkinkan penyelesaian kasus tanpa harus melalui proses peradilan formal, terutama untuk kasus tertentu yang lebih mengedepankan pemulihan korban dibandingkan hukuman bagi pelaku.

Namun, Prof. Topo juga mengkritisi tren overkriminalisasi di Indonesia, di mana hampir semua undang-undang baru memasukkan ketentuan pidana dengan sanksi yang semakin berat. “Hal ini menambah beban sistem peradilan dan dapat menyebabkan disparitas dalam pemidanaan,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia memaparkan sejarah perkembangan hukum pidana di Indonesia, mulai dari era kerajaan, masa kolonial Belanda dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht, hingga lahirnya KUHP baru yang disahkan pada 2023. Menurutnya, KUHP baru merupakan hasil kerja panjang para pakar hukum sejak masa awal kemerdekaan.

Meski demikian, implementasi KUHP baru masih menghadapi tantangan besar, termasuk:

Penyusunan peraturan pemerintah (PP) yang mendetail untuk pelaksanaan pasal-pasal tertentu.

Penyesuaian undang-undang sektoral agar sejalan dengan KUHP baru.

Revisi KUHAP sebagai instrumen pendukung KUHP baru.

“Tanpa regulasi pendukung ini, pelaksanaan KUHP baru bisa terhambat,” ujar Prof. Topo. Ia juga menekankan pentingnya memperhatikan dimensi hak asasi manusia (HAM) dalam penerapan KUHP baru, termasuk perubahan dalam hukuman mati yang kini bersifat alternatif setelah menjalani masa percobaan tertentu.

Sesi diskusi berlangsung interaktif. Para peserta menanyakan kesiapan aparat penegak hukum dalam memahami perubahan ini. Prof. Topo menegaskan perlunya pelatihan intensif agar KUHP baru tidak hanya dipahami secara tekstual, tetapi juga diimplementasikan dengan paradigma yang lebih humanis.

Acara yang berlangsung hampir dua jam ini mendapat apresiasi tinggi dari peserta karena kedalaman materi dan relevansinya terhadap dinamika hukum pidana di Indonesia masa kini.