preloader

Potensi Kriminalisasi Hak Minoritas Keagamaan dalam KUHP

 

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, menjadi salah satu narasumber dalam diskusi bertema “Reform or Regression? Amending Indonesia’s Criminal Code” yang diselenggarakan oleh Indonesia Democracy Hallmark Research Initiative (IDeHaRI), bersama dengan Centre for Indonesian Law, Islam and Society, Melbourne Law School, The University of Melbourne pada Rabu (7/12/2022) secara daring.

Dalam diskusi tersebut, Asfinawati membedah pasal-pasal bermasalah mengenai hak minoritas keagamaan dalam KUHP yang baru disahkan oleh pemerintah dan DPR pada Rapat Paripurna Selasa (6/12/2022) lalu. Menurutnya, rumusan pasal KUHP baru menunjukkan bahwa pemerintah berupaya mengakomodir kepercayaan dan mengurangi derajat hukuman, tapi pada akhirnya jatuh pada jebakan yang sama.  Misalnya, pada Pasal 300 KUHP, agama masih menjadi dasar mempidanakan orang. Pasal tersebut juga dinilai multi-tafsir dan dapat berpotensi menjadi pasal karet.

Selanjutnya, pada Pasal 301 KUHP juga dinilai sebagai reformulasi UU ITE, bahkan pasal ini juga dapat menimbulkan ancaman terhadap jurnalis karena memuat kata “profesi”. Lalu, Pasal 302 juga memuat kata “menghasut” yang multi-tafsir. Dalam penjelasan Pasal 302, terdapat batasan bahwa tujuan pemidanaan adalah hasutan agar orang menganut agama atau kepercayaan baru yang belum ada di Indonesia dan mereka yang tidak beragama atau menganut kepercayaan apa pun. “Pasal 302 Ayat 2 ini diskriminatif karena meskipun cukup baik, tapi seharusnya juga termasuk memaksa orang untuk menganut agama”, tutur Asfin.

Asfinawati juga menilai pada Pasal 304 yang memuat penghinaan terhadap agama memang bertujuan baik, namun pidana terhadap penghinaan merupakan masalah. Kategori menghina sangatlah subyektif sehingga ada potensi kriminalisasi berlebihan. “Penjalasan Pasal 304 menunjukkan potensi gangguan ketertiban masih menjadi dasar untuk mempidanakan warga negara,” pungkas Asfin.