preloader

Pengajar Jentera Kritik Putusan Pengujian UU KPK


Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menjadi salah satu narasumber dalam webinar daring bertajuk “Memahami Putusan MK tentang Judicial Review atas UU No.19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang KPK” pada Jumat (7/5/2021). Agenda tersebut diinisiasi oleh Koalisi Anti Korupsi Indonesia (KAKI) bersama Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD). Selain Bivitri, diskusi dihadiri oleh pegiat antikorupsi ICW, Kurnia Ramadhana, dan ahli Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, serta dimoderasi oleh Ketua Advisory Comitter KAKI yang juga pendiri STH Indonesia Jentera, Erry Riana Hardjapamekas.
Pada Selasa (4/5/2021) lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan pengujian uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang perubahan kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK (UU KPK) yang dinilai berdampak pada pelemahan kelembagaan KPK dan upaya pemberantasan korupsi secara umum. Selain itu, MK mengabulkan sebagian uji materi yang membatalkan kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) terkait kewajiban izin penyadapan, penggeledahan, penyitaan.
Terkait dengan hal tersebut, Bivitri menyayangkan putusan mahkamah yang menolak secara keseluruhan uji formil yang diajukan. Menurutnya, apabila didalami dengan lebih serius dan berhati-hati, terdapat beberapa kekeliruan dalam proses revisi undang-undang tersebut. Pertama adalah mahkamah tidak menganggap proses perencanaan dan pembahasan yang tertutup dan tidak partisipatif sebagai cacat proses. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya berdalih, bahwa proses revisi UU KPK tersebut telah dikonsultasikan dalam beberapa diskusi dan seminar yang digelar di beberapa perguruan tinggi. Namun, mahkamah tidak melakukan penalaran hukum lebih dalam terhadap putusan tersebut dengan tidak menganalisis secara rinci perdebatan dan pro-kontra terhadap forum-forum tersebut. Karenanya Bivitri menilai, diskusi dan seminar yang telah digelar oleh perancang proses revisi tidak dilakukan berdasarkan pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Di lain sisi, mahkamah juga tidak mempertimbangkan penolakan dan demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa dan kelompok masyarakat yang sampai menelan korban. Hal tersebut sangat disayangkan oleh Bivitri karena penolakan dan demonstrasi adalah salah satu mekanisme dan saluran dalam menyuarakan aspirasi yang perlu dipertimbangkan. Ia menilai mahkamah hanya memaknai partisipasi dan penyampaian aspirasi secara formal, sehingga menyalahi prinsip demokrasi substantif.
Selanjutnya Bivitri juga menyinggung perihal pemohon yang tidak berhasil menghadirkan bukti rekaman terkait kehadiran anggota parlemen dalam paripurna saat pengambilan keputusan revisi UU KPK. Rekaman tersebut dapat membuktikan bahwa paripurna yang digelar tersebut tidak kuorum. Mahkamah dinilai gagal untuk meminta DPR-RI menyediakan alat bukti, namun menjadikannya pertimbangan guna menolak pemohonan. Padahal apabila didalami, akan sangat sulit untuk pemohon yang notabene warga sipil untuk menghadirkan alat bukti tersebut dan sudah seharusnya mahkamah mengupayakannya dengan berkoordinasi dengan DPR-RI selaku pemilik rekaman tersebut.
Terkait dengan desain kelembagaan KPK pasca putusan diterimanya uji materiil secara sebagian pada beberapa pasal. Pada ihwal pengurangan kewenangan Dewan Pengawas, yakni pada bagian pemberian izin penyadapan dan penggeledahan, Bivitri menilai bahwa hal tersebut tetap menjadikan Dewan Pengawas tidak lebih baik. Ia menyebut bahwa hal tersebut tidak memiliki banyak pengaruh karena dewan pengawas tetap memiliki kewenangan yang secara prinsip tidak diperlukan.
Berikutnya terkait penambahan kata independen dan penegasan terhadap desain KPK yang bebas dari pengaruh kekuasaan manapun walaupun tetap dalam rumpun eksekutif, juga dinilai oleh Bivitri hanya sebatas formalitas. Ia menegaskan bahwa independensi tidak bergantung pada susunan kata-kata, namun perlu pembuktian pada desain institusional. Bivitri kemudian menganalisis hal tersebut dengan menyoroti proses alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Ia menilai apabila terjadi alih status dari pegawai KPK yang independen dan menjadi ASN, maka terdapat banyak kewenangan yang akan dikontrol oleh kekuasaan eksekutif secara umum.
Penulis MH