preloader

Pengajar Jentera Dorong Mahkamah Konstitusi Memaksimalkan Peran Pengawasan terhadap Pembuat Undang-Undang

Dalam proses pengesahan UU Cipta Kerja, terjadi fenomena “autocratic legalism” yang menggambarkan bagaimana kekuasaan pemerintah dan legislatif menegasikan fungsi kontrol lembaga lain, termasuk kekuasaan yudikatif. Fenomena tersebut menjadi permasalahan yang fundamental karena kekuasaan tanpa kontrol telah dilegalkan melalui sudut pandang legislasi.

Hal tersebut disampaikan oleh Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti saat menjadi salah satu ahli dalam sidang pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap UUD Republik Indonesia Tahun 1945 yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi RI pada Rabu (26/7/2023) di Jakarta. Permohonan uji formil tersebut diajukan oleh 121 pemohon yang terdiri dari 10 serikat pekerja dan 111 orang pekerja.

Terkait “autocratic legalism”, Bivitri menilai bahwa preseden tersebut merupakan bentuk penyelewengan terhadap konstitusi yang dilakukan oleh pemerintah dan legislatif. Bivitri menjelaskan, penyelewengan konstitusi tersebut terjadi pada dua aspek. Pertama, terdapat itikad buruk pemerintah yang tercermin dari tindakan hukum yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang telah menyatakan bahwa UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Kedua, terdapat praktik hukum yang buruk dengan adanya penerbitan perppu walaupun tidak ada kondisi dan kegentingan yang memaksa. Tidak berhenti sampai disitu, Perppu Cipta Kerja yang telah terbit kemudian juga dikonversi menjadi undang-undang melalui UU No. 6 Tahun 2023.

Dalam keterangannya di persidangan, Bivitri juga menjabarkan adanya politik hukum terkait UU Cipta Kerja melalui dua kasuistik yang menarik untuk dikaji. Pertama adalah pernyataan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto yang menyebut penerbitan Perppu Cipta Kerja dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. Studi kasus lain, yakni ketika Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan memberikan pernyataan bahwa langkah pemerintah memutihkan 3,3 juta hektar kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan merujuk pada UU Cipta Kerja. Dari kasuistik tersebut, Bivitri beranggapan bahwa terdapat mekanisme politik hukum yang kuat untuk merespon putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Bivitri kemudian menegaskan bahwa selayaknya Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Dengan keputusan tersebut, Bivitri menerangkan bahwa Mahkamah Konstitusi akan kembali mengambil peran yang maksimal dalam pengawasan terhadap pembuat undang-undang dan produk hukum yang diterbitkan.