preloader

Orasi Ilmiah: Pemilu, Demokrasi, dan Reformasi Hukum

Orasi Ilmiah bertajuk “Pemilu, Demokrasi, dan Reformasi Hukum” oleh Guru Besar Luar Biasa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Prof. Susi Dwi Harijanti disampaikan dalam Sidang Senat Penerimaan Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2023/2024 dan Wisuda Sarjana Tahun Akademik 2022/2023 pada Rabu (30/8/2023) di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Tahun 2019, untuk pertama kali sejak Indonesia merdeka, pemilu dilakukan secara serentak, meliputi pemilihan Presiden/Wakil Presiden serta pemilihan legislatif (DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota). Suatu pemilihan yang dikatakan paling rumit dan paling mahal di seluruh dunia, bukan saja mahal dalam arti materi namun juga dalam arti sumber daya manusia. Sebagaimana dimuat Kompas 22 Januari 2022, KPU menyatakan terdapat 894 petugas meninggal, dan 5.175 petugas mengalami sakit. Pemilu serentak, dikatakan oleh Yudi Latief, menghabiskan kira-kira 24.9 triliun rupiah. Pilpres 2014 mengakibatkan bangsa Indonesia terbelah, dan persoalan tersebut berlanjut, bahkan ke tingkat yang lebih serius pada Pilpres 2019.

Tahun 2019, untuk pilpres, ditandai dengan keikutsertaan incumbent. Dimanapun dan kapanpun, para “incumbent” selalu mempunyai peluang lebih baik – antara lain – karena dapat menjual hasil konkrit yang telah dan sedang dijalankan. Biasanya incumbent akan bertindak secara offensive untuk menghadapi pesaingnya yang menjual gagasan-gagasan guna “mengalahkan” sang incumbent. Keterpilihan Jimmy Carter menjadi Presiden yang mengalahkan Gerald Ford dari Partai Republik. Tema kampanye Carter saat itu adalah “Leadership for a change” yang mengesankan demokratis dan fleksibel. Sementara Ford dengan tema “He’s made us proud again” yang memberi kesan ingin memperbaiki citra negara yang bermasalah akibat skandar Watergate pada masa kepemimpinan Presiden Nixon.

Di Indonesia, Jokowi-Ma’ruf yang mengusung slogan Indonesia maju menawarkan visi “terwujudnya Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong”, dan menurunkan visi tersebut menjadi sembilan misi, antara lain: peningkatan kualitas manusia Indonesia; struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing; pembangunan yang merata dan berkeadilan; mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan; penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; sinergi pemerintahan daerah dalam kerangka negara kesatuan, dan lain-lain.

Dapat terjadi seorang incumbent yang berhasil pada periode sebelumnya dapat kalah dari pesaingnya karena ia sekadar menjual keberhasilan tanpa dasar konseptual platform yang jelas. Namun patut diingat seringkali rakyat banyak masih dilandasi cara berpikir tradisional “konkrit-kontan”, dan hal itu menjadi ukuran memenangkan kompetisi.

Pemilu 2019 telah menunjukkan hasilnya, di mana incumbent terpilih kembali. Namun dalam periode kedua masa jabatannya, pertanyaan-pertanyaan mengenai reformasi hukum kembali mengemuka. Pada 26 September 2022, Presiden Jokowi menyatakan pentingnya melakukan reformasi hukum. Pertanyaannya, mengapa pernyataan tersebut justru muncul menjelang akhir masa jabatan? Dapatkah diasumsikan bahwa Pemilu 2019 menghasilkan penyelenggara negara yang kurang memberi perhatian pada terselenggaranya reformasi hukum atau bahkan abai terhadapnya?

 

Unduh File:

Orasi Ilmiah