preloader

MK Dinilai Tidak Menggali Kebenaran dalam Putusan Pengujian UU KPK


Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menyelenggarakan Diskusi Konstitusi dan Legisprudensi (DIKSI) bertajuk “Menyibak Putusan MK dalam Pengujian Formil dan Materiil Revisi UU KPK” pada Kamis (6/5/2021) secara daring. Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut Komisioner KPK 2015-2019, Laode Muhamad Syarif, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) FH Universitas Andalas, Feri Amsari, dan pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti.
Pada Selasa (4/5/2021) lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan pengujian uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang perubahan kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK (UU KPK) yang dinilai berdampak pada pelemahan kelembagaan KPK dan upaya pemberantasan korupsi secara umum. Selain itu, MK mengabulkan sebagian uji materi yang membatalkan kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) terkait kewajiban izin penyadapan, penggeledahan, penyitaan.
Terkait dengah hal tersebut, Laode Syarif mengungkapkan kekecewaanya terhadap putusan mahkamah terutama soal uji formil. Ia kemudian mempertanyakan apakah proses revisi UU KPK sudah sesuai dengan syarat formil yang telah ditentukan. Ia menyinggung proses konsultasi publik yang dilaksanakan dengan menyelenggarakan seminar di beberapa perguruan tinggi. Namun pada poin tersebut mahkamah tidak memperdalam secara rinci perihal perlawanan publik pada agenda seminar tersebut dan tidak menggali kebenaran lebih dalam pada agenda seminar yang menurutnya hanya sekedar formalitas.
Laode Syarif juga menyinggung soal transparansi yang selama ini digaungkan oleh pembahas revisi UU KPK. Ia menilai proses konsultasi yang selama ini dianggap transparan merupakan hal yang tidak tepat karena tidak ada draf revisi undang-undang atau naskah akademik yang dapat dipelajari publik. Terakhir, Laode Syarif juga mempertanyakan sikap majelis yang menyalahkan pemohon yang tidak bisa menghadirkan bukti rekaman video persidangan untuk membuktikan bahwa paripurna DPR tidak kuorum saat pengambilan keputusan revisi UU KPK. Hal ini sangat kontradiktif, mengingat di satu sisi hakim mengamini bahwa kehadiran fisik saat paripurna sangat dibutuhkan dan juga menyadari bahwa paripurna tidak kuorum secara fisik.
Dalam diskusi tersebut, Bivitri Susanti kemudian menyinggung proses peralihan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merupakan salah satu muatan revisi UU KPK. Ia menilai bahwa independensi pegawai KPK sebagai pegiat antikorupsi dapat terganggu karena alih status menjadi ASN. Ia menjelaskan bahwa korupsi dapat terjadi karena koruptor yang menggunakan kekuasaan untuk memperlancar tindakannya. Karenanya sebuah lembaga antikorupsi sudah semestinya berjarak dengan kekuasaan, agar tidak mudah diinfiltrasi dan dieksploitasi oleh urusan kekuasaan tersebut. Apabila sebuah lembaga antikorupsi tetap bersifat independen, maka lembaga tersebut tidak masuk dalam pengaturan kekuasaan eksekutif secara umum. Bivitri menilai apabila terjadi alih status ke ASN dari pegawai KPK yang independen, maka terdapat banyak kewenangan yang akan dikontrol oleh kekuasaan eksekutif secara umum. Ia kemudian mencontohkan gagalnya beberapa pegawai senior KPK pada uji wawasan kebangsaan sebagai salah satu syarat proses menjadi ASN.
Persoalan independensi KPK juga disinggung oleh Feri Amsari. Ia menyebut bahwa KPK sedari awal sudah lemah dan upaya pelemahan terus bergulir dari waktu ke waktu. Menurut teori Bruce Ackerman seharusnya lembaga dan upaya pemberantasan korupsi itu dijaga, yakni dengan menempatkan legalitasnya pada konstitusi, proses revisinya tidak dapat dilakukan dengan proses legislasi biasa, dan jaminan terhadap independensi komisioner serta pegawai melalui ketentuan yang tepat. Hal tersebut tentu sangat berlawanan dengan sepak terjang KPK selama ini. Feri menyebut bahwa hingga kini KPK dan proses kerjanya hanya diatur melalui sebuah undang-undang yang setiap tahun selalu diupayakan untuk direvisi. Terakhir, Feri juga menyinggung bahwa KPK selama ini telah mempertahankan upaya penjagaan independensi komisioner dan pegawainya. Namun, upaya tersebut seakan sia-sia dengan proses alih status pegawai KPK menjadi ASN yang kini tengah dilakukan.
Penulis MH