preloader

Menakar Praktik Pembentukan Undang-Undang dan Tindakan Pemerintah Yang Melawan Putusan Pengadilan


Pemerintah dalam beberapa kesempatan melakukan tindakan yang melanggar putusan pengadilan baik dalam bentuk regulasi dan kebijakan. Misalnya, Putusan Mahkamah Agung (MA) atas gugatan petani penggunungan Kendeng dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup terhadap PT Semen Indonesia. Putusan tersebut membuat izin lingkungan yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah untuk PT Semen Indonesia harus dibatalkan. Namun dalam pelaksanaannya, keputusan baru yang dikeluarkan pemerintah justru bertentangan dengan putusan MA. Contoh lainnya adalah ketika MA membatalkan kenaikan iuran BPJS kesehatan per 1 Januari 2020. Namun, dalam Perpres yang baru dibuat terkait iuran BPJS, pemerintah seolah menegasikan putusan MA tersebut.
Menurut pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti terdapat tiga pola pelanggaran yang dilakukan, yaitu pembuat Undang-undang (DPR dan presiden) mengabaikan Putusan MK dengan membuat substansi yang sama; dalam peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (UU), pemerintah membuat peraturan baru yang memuat substansi yang sama; dan tidak mengeksekusi putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Hal tersebut disampaikan dalam Diskusi Konstitusi (DIKSI): Menakar Praktik Pembentukan Undang-Undang dan Tindakan Pemerintah yang Melawan Putusan Pengadilan pada Selasa (30/6/2020). Hadir narasumber lainnya, yaitu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Susi Dwi Harjianti dan pengajar STH Indonesia Jentera dan Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar.
Lebih lanjut, Prof. Susi menekankan pentingnya prosedur dalam pembentukan UU. “Tanpa prosedur, hukum dan institusi-institusi hukum akan gagal mencapai tujuan-tujuannya karena hukum diperlukan dan diinginkan dalam mencapai tujuan-tujuan sosial, prosedur juga diperlukan dan harus dilihat sebagai suatu hal yang setara dalam skema tersebut,” ujarnya.
Sementara, Haris Azhar menilai hal ini terjadi karena minimnya partisipasi publik dalam pembentukan UU dan rendahnya legal culture yang dimiliki masyarakat. Lebih lanjut, kondisi ini akan berpengaruh pada legitimasi politik dan kepercayaan publik yang terus menurun terhadap lembaga-lembaga hukum, bahkan terhadap demokrasi.
Diskusi yang dimoderatori oleh asisten pengajar Jentera, Agil oktaryal itu diikuti oleh lebih dari ratusan  peserta yang terdiri dari dosen, mahasiswa, peneliti, hingga aparatur pemerintah. Diskusi tersebut juga dapat disaksikan ulang di kanal Youtube Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Unduh Materi
DIKSI JENTERA_30-6-2020_Bivitri Susanti
DIKSI JENTERA_30-6-2020_Prof. Susi