preloader

Mekanisme Peninjauan Kembali sebagai Koreksi Kesalahan dalam Putusan

Anggota Komisi Yudisial RI yang juga Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Binziad Kadafi meluncurkan buku bertajuk “Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan” pada Senin (10/7/2023) di Perpustakaan Erasmus Huis, Jakarta. Agenda peluncuran buku tersebut disertai dengan proses diskusi yang dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua Komisi Yudisial RI, perwakilan kementerian/lembaga, anggota DPR-RI, organisasi riset hukum, dan insan akademik dari berbagai kampus seperti Tilburg University, Leiden University, Universitas Indonesia, STH Indonesia Jentera, dan lainnya.

Dalam bukunya, Dafi menegaskan bahwa proses peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang seharusnya didasari oleh alasan luar biasa guna menjaga finalitas putusan. Pondasi tersebut perlu untuk kembali dikuatkan mengingat fungsi peninjauan kembali dewasa ini lebih banyak digunakan sebagai upaya hukum ketiga setelah kasasi guna mengoreksi kesalahan dalam putusan. Dafi menjelaskan bahwa upaya tersebut banyak digunakan mengingat KUHAP menjamin putusan peninjauan kembali harus lebih ringan atau minimal memiliki sanksi yang sama dengan putusan awal.

Dafi menambahkan, kesakralan mekanisme peninjauan kembali semakin tereduksi yang terlihat dari fakta di lapangan di mana terdapat peningkatan permohonan peninjauan kembali yang masuk ke Mahkamah Agung. Pada 2022, terdapat permohonan peninjauan kembali non-pajak sebanyak 3.400an, yang ketika dibandingkan dengan permohonan di 2021 terdapat peningkatan sebesar 66,5%. Pada perkara pidana sendiri, Dafi memaparkan bahwa dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir terdapat rata-rata jumlah permohonan peninjauan kembali sebanyak 565 per tahun.

Dafi menjabarkan, kasuistik yang terjadi di lapangan adalah kecenderungan terpidana untuk melompati mekanisme banding dan kasasi agar sampai langsung pada proses inkracht putusan di tingkat pertama putusan sehingga dapat segera mengajukan peninjauan kembali. Dengan begitu, para terpidana memiliki ekspektasi untuk mendapatkan hukuman yang lebih ringan atau minimal sama dengan sanksi pada putusan awal. Dafi menjelaskan, preseden tersebut menyebabkan semakin banyak hasil peninjauan kembali yang bermasalah pada ihwal syarat materiil, novum, dan tafsiran putusan yang elastis.

Dalam buku tersebut, Dafi juga menawarkan alternatif solusi yakni permohonan peninjauan kembali menggunakan alasan materiil falsum. Salah satu contoh alasan falsum yang dapat dikenakan adalah ketika dalam proses peradilan hakim maupun aparat penegak hukum menerima suap sehingga mempengaruhi netralitas dalam menghasilkan putusan. Selain itu, Dafi juga mengusulkan agar permohonan peninjauan kembali yang masuk dapat diperiksa melalui mekanisme judex facti, dengan tujuan terdapat pemeriksaan yang komprehensif berdasarkan hukum acara yang berlaku mutatis mutandis.

Buku “Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan” disusun berdasarkan disertasi doktoral Dafi di Tilburg University Belanda dengan analisis doktrin hukum pidana terhadap topik yang diangkat. Dafi juga menyusun buku ini menggunakan metodologi empirik berbasis ilmu sosial, yang bertujuan untuk mengkolaborasikan sumber data teks hukum dan putusan pengadilan dengan wawancara narasumber terkait yang kredibel.