preloader

Napak Tilas Jejak Cak Munir dalam Perjuangan Buruh


Munir, buruh, dan pekerja migran adalah ikon yang saling berikat kuat satu sama lain. Pada 1993, Munir pernah membantu mengawal kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, selain itu Munir juga pernah menempuh jalur Citizen Law Suit untuk mengadvokasi kasus deportasi massal pekerja Indonesia dari Malaysia pada 2002. Perjuangan Munir tersebut masih menjadi inspirasi dan semangat untuk para buruh dan pekerja migran hingga hari ini.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif Migrant Care yang juga kawan Munir, Wahyu Susilo, saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Napak Tilas Jejak Cak Munir dalam Perjuangan Buruh” pada Selasa (7/12/2021). Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Jentera bersama penerima Beasiswa Munir Said Thalib Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera untuk memperingati 56 tahun kelahiran Munir. Selain Wahyu Susilo, hadir sebagai narasumber lain adalah aktivis hak asasi manusia, Asfinawati, pengajar STH Indonesia Jentera, M. Nur Sholikin, dan aktivis buruh sekaligus kawan Munir, Subiyanto. Diskusi tersebut dipandu oleh salah satu penerima Beasiswa Munir Said Thalib STH Indonesia Jentera, Usep Hasan Sadikin.
Asfinawati menuturkan bahwa Munir akan selalu terikat dengan isu perburuhan, meski jejak advokasinya juga banyak bersinggungan dengan ihwal politik. Munir juga berperan untuk memperluas advokasi buruh, dimulai dari perihal kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat, dan secara umum tentang tuntutan berdemokrasi di era otoritarian Orde Baru. Sholikin menambahkan, peran Munir tersebut kemudian turut menginspirasi aksi dan advokasi buruh lintas rezim dan hingga hari ini yang juga menyasar isu-isu terkait hak asasi manusia, antikorupsi, dan tuntutan akan produk legislasi yang memihak masyarakat.
Subiyanto kemudian turut menggali jejak perjuangan Munir ketika bersama-sama turut serta dalam satu aliansi bersama organisasi masyarakat sipil yang diberi nama Kasum (Komite Solidaritas untuk Marsinah). Subiyanto juga membuka beberapa memori percakapannya dengan Munir yang banyak berkisar pada penguatan kesadaran buruh sebagai elemen yang memiliki peran penting di masyarakat. Satu percakapan yang cukup mengharukan baginya adalah mengenai keberanian Munir dalam menyuarakan kebaikan dan kebenaran dengan resiko nyawa yang setiap saat dapat dihilangkan.
Diskusi kemudian ditutup dengan pembacaan puisi Fahd Pahdepie yang berjudul “Atas Nama Munir” oleh mahasiswa Jentera Nizwa Apria Hazaz dan Wahyu Susilo yang membaca puisi Widji Thukul yang bertajuk “Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI” dan “Makin Terang bagi Kami”.