preloader

Indonesia dan Amerika Serikat Alami Pelemahan Hak-hak Konstitusional

Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, bekerja sama dengan University of Washington School of Law dan Asian Law Center menyelenggarakan international lecture bertajuk “The Changing Role of Courts in U.S. Politics: Reflections for Indonesia” pada hari Jumat (29/08/2025) di kampus Jentera, Jakarta.

Diskusi ini membahas tentang pentingnya dialog transnasional dalam memperkuat integritas peradilan dan menegakkan supremasi hukum di Indonesia maupun di tingkat global. Hadir sebagai narasumber adalah dua profesor dari University of Washington School of Law Prof. Mireille Butler dan Prof. Elizabeth G. Porter, Pengajar Jentera Bivitri Susanti, dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Choky Ramadhan.

Membuka rangkaian diskusi, Prof. Elizabeth G. Porter dan Prof. Mireille Butler memaparkan bagaimana Mahkamah Agung Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Hakim Agung John Roberts memperluas kekuasaan presiden, membatasi hak-hak konstitusional, dan sekaligus memperkuat kekuasaannya sendiri.

Prof. Porter menyoroti keputusan Trump v. United States pada 2024 yang memberikan perlindungan hukum kepada presiden. Menurutnya, itu merupakan “keputusan terburuk secara pribadi yang pernah diputuskan pengadilan di bawah masa jabatan Hakim Agung John Roberts”. Prof. Porter juga menyoroti pengadilan yang telah mengurangi hak-hak konstitusional individu, salah satunya adalah pembatalan kebijakan khusus di universitas yang sejatinya adalah upaya untuk “memberikan solusi atas diskriminasi sistematis” yang memiliki sejarah panjang di AS.

Lebih lanjut, Prof Butler menjelaskan adanya kontraksi atau penyempitan hak-hak konstitusional individu yang dijamin oleh Amendemen ke-14 Konstitusi AS. Prof. Butler mencontohkan putusan Dobbs, yang secara efektif membatalkan preseden Roe v. Wade mengenai hak aborsi. Menurutnya Mahkamah Agung membalik interpretasi sebelumnya dan menyerahkan kewenangan untuk mengatur isu tersebut kepada masing-masing negara bagian. Hal ini juga didorong oleh mekanisme prosedural “shadow docket”, yang memungkinkan percepatan penanganan kasus-kasus strategis.

Choky Ramadhan melanjutkan diskusi dengan menyoroti kondisi peradilan di Indonesia dengan menekankan bahwa peradilan bukan semata-mata institusi hukum, melainkan juga institusi politik. “Ada ruang bagi kita sebagai akademisi hukum di Indonesia untuk memperkaya literatur tentang independensi peradilan, integritas, dan perilaku hakim,” jelasnya. Choky menambahkan, dalam konteks Indonesia, faktor seperti afiliasi, latar belakang etnis, hingga kedekatan politik turut mempengaruhi perilaku hakim. Ia menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam memahami fenomena ini, agar solusi perbaikan dapat dirumuskan secara konsisten dan menyeluruh.

Bivitri Susanti kemudian menyoroti pola yang sama antara Amerika Serikat dan Indonesia dalam hal pelemahan hak-hak konstitusional dan ekspansi kekuasaan eksekutif. Ia menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “autocratic legalism”. “Kita melihat bagaimana produk hukum dan praktik peradilan justru dipakai untuk memperkuat kekuasaan, melemahkan pengawasan, dan membatasi ruang gerak masyarakat sipil,” ungkapnya. Menurut Bivitri, praktik legislasi yang tergesa-gesa dan minim partisipasi publik menjadi salah satu indikator menguatnya kecenderungan otoritarianisme di Indonesia. Ia menambahkan, “Demokrasi kita sudah masuk dalam ranah competitive authoritarianism, di mana institusi demokrasi secara formal masih ada, tetapi substansinya telah terkikis.”

Menutup diskusi, Ketua STH Indonesia Jentera, Aria Suyudi, menegaskan pentingnya integritas peradilan untuk menjaga keseimbangan kekuasaan. Ia menggarisbawahi tiga poin utama: desain institusional dan etika, kualitas putusan yang transparan, serta ekosistem pendukung yang melibatkan universitas, masyarakat sipil, media, dan pembuat kebijakan. “Kita harus menjunjung tinggi rule of law, bukan rule by law,” tegasnya.

Diskusi yang dimoderatori oleh Pengajar STH Indonesia Jentera Gita Putri Damayana dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.