preloader

BRAIS Conference 2016: Pintu Masuk STH Indonesia Jentera untuk Peluang Berkolaborasi

Penerapan hukum Islam secara formal ternyata tidak serta-merta menjadikan sebuah negara dianggap telah menerapkan nilai-nilai Islam dengan sempurna. Empat imam mazhab utama yang dikenal dalam Islam sendiri mendefinisikan dar al-Islam atau negara Islam secara berbeda-beda. Mereka menetapkan beberapa tolok ukur—antara lain keberlakuan hukum Islam (shari’a), pelaksanaan praktik agama Islam, dan muslim sebagai kepala negara/pemerintahan—yang perlu dilihat untuk menentukan apakah sebuah negara merupakan dar al-Islam atau bukan. Sementara itu, Shariah Index Project, sebuah inisiatif yang mengukur tingkat kepatuhan negara dan masyarakat terhadap hukum Islam, memaknai dar al-Islam secara lebih luas, yakni sebuah negara menjadi tempat yang aman bagi para penganut agama Islam untuk menjalankan ibadahnya. Sebaliknya, ketika para penganut agama-agama selain Islam tidak dapat menjalankan keyakinannya di dalam suatu negara, maka negara itu tergolong dar al-kufr. Data itu disampaikan oleh Sarah Albrecht dari Free University Berlin, Jerman, yang menjadi salah satu pemakalah dalam diskusi panel bertema “When Fiqh Meets the State: New Problems and Solutions in Islamic Law”.
Tema tersebut merupakan salah satu di antara 35 tema diskusi panel yang ditawarkan dalam rangkaian The 3rd Annual Conference of the British Association for Islamic Studies (BRAIS Conference) yang diselenggarakan di University of London, Inggris, pada 11 dan 12 April 2016. Konferensi itu rutin diselenggarakan sejak 2014 oleh BRAIS, sebuah asosiasi yang menghimpun para akademisi kajian Islam dari berbagai perguruan tinggi di Inggris. Setiap tahunnya, para pembicara yang kebanyakan berasal dari universitas-universitas di Eropa mempresentasikan makalah mereka dalam panel-panel diskusi. Tahun ini, untuk pertama kalinya, delegasi Indonesia diundang sebagai perwakilan internasional di BRAIS Conference atas dukungan British Council. Pengajar STH Indonesia Jentera, Rizky Argama, menjadi salah satu anggota delegasi bersama lima orang akademisi lain yang berasal dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, UIN Surabaya, UIN Sumatera Utara, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Gama, yang juga merupakan peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), menyebutkan beberapa tema diskusi panel sangat relevan dengan berbagai diskursus mengenai relasi negara dan hukum Islam di Indonesia. Selain yang telah diuraikan di awal mengenai “tingkat kepatuhan terhadap hukum Islam” dalam negara modern dengan menggabungkan kriteria-kriteria tradisional dan modern, tema lain yang juga relevan dengan situasi tanah air adalah tentang sistem keuangan Islam dan pencegahan praktik riba. Pemakalah Pejmar Abedifar dari University of St Andrews memaparkan hasil pengamatannya yang menunjukkan bahwa lembaga keuangan dan perbankan Islam di beberapa negara belum sepenuhnya berbasis pada prinsip keadilan dan usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat miskin. Padahal, kehadiran sistem keuangan dan perbankan Islam sesungguhnya diharapkan dapat memberikan alternatif terbaik bagi kelas ekonomi lemah yang membutuhkan fasilitas pendanaan tanpa unsur riba.
Kehadiran perwakilan STH Indonesia Jentera dalam konferensi tersebut, menurut Gama, menjadi pintu masuk untuk meningkatkan peluang kerja sama institusi pendidikan di Indonesia, khususnya STH Indonesia Jentera, dengan universitas-universitas di Inggris dalam rangka mengembangkan sektor pengetahuan dalam bidang hukum dan hukum Islam.

Gallery slideGallery slide