preloader

Aturan Peralihan Harus Memperhatikan Aspek Keadilan

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjadi ahli dalam sidang pengujian Pasal 40A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (11/10/2022). Dalam sidang perkara Nomor 70/PUU-XX/2022, Bivitri yang merupakan ahli pemohon hadir secara daring.

Para pemohon, yang terdiri dari enam orang jaksa, mempersoalkan Pasal 40A yang mengubah usia pensiun jaksa yang semula berusia 62 tahun menjadi 60 tahun. Dengan diberlakukannya ketentuan peralihan dari Pasal 40A pada 31 Desember 2021, ternyata terdapat perbedaan yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi sekelompok usia tertentu, karena bagi yang berusia 60 tahun atau lebih, tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang artinya mereka lahir antara 1 Januari 1959 sampai 1 Januari 1961.

Sementara yang berusia kurang dari 60 tahun akan mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang artinya bagi mereka yang berusia tepat dan kurang dari 59 tahun, yang lahir sebelum dan pada tanggal 1 Januari 1962, masih memiliki masa satu tahun untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan baru. Namun bagi yang berusia lebih dari 59 dan kurang dari 60, yang lahir pada 2 Januari 1961 sampai 31 Desember 1961, tidak memiliki masa satu tahun untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan baru, sehingga mereka mengalami kerugian moril dan materiil karena tidak siap mengadapi pensiun.

Dalam kesempatan tersebut, Bivitri menyampaikan bahwa aturan peralihan sangat penting karena ada potensi dampak negatif yang timbul saat terjadi transisi dari situasi lama ke situasi baru yang disebabkan oleh keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. Ia melihat terdapat dua kelompok pihak terdampak UU Kejaksaan yang diberi perlakuan berbeda dan terdapat ketidakadilan karena ada diskriminasi terhadap kelompok jaksa yang belum berusia 60 tahun pada 30 Desember 2021.

Bivitri juga mengutip Queensland Legislation Handbook yang menyatakan bahwa saat membuat aturan peralihan, perancang peraturan harus memperhatikan hak dan ekspektasi individu yang akan terdampak peraturan baru. ”Jadi, tak hanya persoalan hak asasi manusia yang tentu saja sangat penting, tapi juga bahkan harapan-harapan. Ada harapan yang secara psikologis juga dimiliki dan itu pun ternyata hukum harus menyasarnya,” ungkapnya.

Menurut Bivitri, tujuan norma Pasal 40A UU Kejaksaan sebagai aturan peralihan harus dikembalikan pada tujuan sebenarnya, yaitu keadilan bagi pihak-pihak yang terdampak UU Kejaksaan. Bukan sekadar memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan bagi negara.

MK kemudian mengeluarkan putusan sela yang mengabulkan permohonan provisi para pemohon. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan Pasal 40A UU Kejaksaan berpotensi menimbulkan pelanggaran atas jaminan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan jaminan kepastian hukum yang adil. Selain itu, hak konstitusional para pemohon tersebut terancam tidak dapat  dipulihkan kembali. Pemberhentian dengan hormat akan memiliki banyak konsekuensi bagi seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang mana konsekuensi tersebut secara logis menimbulkan kerugian pada yang bersangkutan.

Menurut MK, putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional pemohon apabila diberhentikan dengan hormat saat berusia 60 tahun dengan mendasarkan Pasal 40A UU Kejaksaan, padahal norma yang menjadi dasar pemberhentian dimaksud sedang dalam proses pemeriksaan dalam pengujian UU di MK. Sehingga berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas guna mencegah semakin banyaknya jaksa yang akan terdampak dengan ketentuan tersebut sebelum dinilai konstitusionalitasnya, MK berpendapat permohonan provisi beralasan menurut hukum.