preloader

Anti-SLAPP Bagian Penting dari Pelindungan HAM

Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera melaksanakan kuliah umum bertajuk “Perkembangan Anti-SLAPP dan Pengaturannya dalam sistem Hukum Indonesia” pada Rabu (4/6/2025). Kuliah umum ini menghadirkan Dr. Nani Indrawati, Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung RI dan Ketua Umum Badan Perhimpunan Hakim Perempuan Indonesia (BPHPI). Kuliah ini juga menjadi kelas penutup mata kuliah Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam di STH Indonesia Jentera Tahun Akademik 2024-2025.

Dalam pemaparannya, Dr. Nani menjelaskan bahwa Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP) merupakan bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sekaligus upaya untuk mencegah tindakan pembalasan melalui jalur hukum. Mekanisme ini penting untuk memastikan bahwa partisipasi publik dalam memperjuangkan kepentingan lingkungan tidak justru menjadi sasaran kriminalisasi. Ia menegaskan bahwa penguatan konsep anti-SLAPP merupakan bagian penting dalam memperkokoh demokrasi lingkungan dan perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

SLAPP kerap digunakan oleh pihak-pihak berkepentingan, terutama korporasi besar, untuk membungkam suara kritis masyarakat, aktivis, dan pejuang lingkungan melalui mekanisme hukum yang disalahgunakan, baik berupa gugatan perdata maupun tuduhan pidana seperti pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan. “Kita harus peka bahwa ada gugatan yang niatnya bukan untuk mencari keadilan, tetapi untuk membungkam. Ini adalah bentuk pembajakan hukum yang harus kita lawan dengan pendekatan progresif, terutama jika yang dibungkam adalah suara publik yang memperjuangkan lingkungan hidup,” ungkap Nani.

Upaya penguatan perlindungan terhadap partisipasi publik melalui mekanisme anti-SLAPP semakin mendapatkan legitimasi dalam sistem hukum Indonesia, terutama sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2023, yang secara eksplisit memberikan pedoman bagi hakim untuk lebih cermat dalam menilai apakah suatu gugatan memiliki indikasi sebagai SLAPP. Perma ini tidak hanya memberikan definisi konseptual, tetapi juga menekankan pentingnya melihat konteks sosial dan lingkungan dari kasus yang ditangani. Dalam praktiknya, Perma ini memberi ruang yuridis bagi hakim untuk menolak gugatan bermotif SLAPP dengan argumentasi yang kuat, sehingga pengadilan tidak menjadi alat intimidasi terhadap masyarakat.

“Melalui Perma ini, Mahkamah Agung ingin menegaskan bahwa pengadilan bukan alat pemukul bagi yang lemah, tetapi tempat bagi keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Kita ingin hakim memiliki keberanian dan pegangan untuk menolak perkara yang bermotif SLAPP,” ujar Dr. Nani.

Meski menjadi langkah maju, Dr. Nani menilai implementasi anti-SLAPP di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah belum adanya undang-undang khusus yang secara tegas mengatur perlindungan hukum terhadap pejuang lingkungan. Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengandung prinsip-prinsip partisipatif, namun belum terdapat norma eksplisit yang mengatur mekanisme pencegahan atau penolakan gugatan SLAPP.

Karena itu, ia menekankan pentingnya pembaruan hukum dan pelatihan intensif bagi para hakim, jaksa, dan penyidik agar mampu mengenali pola-pola SLAPP yang kerap berkamuflase sebagai gugatan hukum biasa. “Jika kita ingin hukum berpihak pada rakyat, maka kita harus berani menggugah struktur hukum lama yang membatasi keadilan substantif. Tidak cukup hanya dengan niat baik, tetapi juga dibutuhkan instrumen regulatif dan edukatif agar perlindungan terhadap pejuang lingkungan menjadi nyata,” tambahnya.

Dr. Nani menutup kuliah dengan menegaskan bahwa pengembangan kerangka hukum anti-SLAPP tidak dapat berhenti pada tataran kebijakan lembaga peradilan semata. Diperlukan upaya legislasi yang lebih holistik dan koordinatif agar prinsip keadilan lingkungan dapat benar-benar terwujud. Kuliah umum ini mendapat apresiasi tinggi dari para peserta karena memberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya melindungi partisipasi publik dan menegakkan keadilan substantif dalam sistem hukum Indonesia.

Kuliah Umum yang dimoderatori oleh Marsya Mutmainah Handayani, Peneliti ICEL dan Pengajar STH Indonesia Jentera dapat disaksikan ulang melalui kanal YouTube STH Indonesia Jentera.