preloader

Pemerintah Perlu Cermat dalam Proses Revisi KUHP


Revisi KUHP memiliki perbedaan mendasar dengan aturan yang biasa diundangkan karena akan berimplikasi pada banyak hal, sehingga membutuhkan pengaturan lebih lanjut dalam teknis pengundangannya. Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Anugerah Rizki Akbari, menjabarkan empat cara yang perlu dicermati oleh pemerintah dan DPR terkait perubahan KUHP. Pertama, memilih dan memilah secara cermat perihal delik yang akan dimasukkan atau diatur di luar KUHP. Selanjutnya perihal aturan dan penentuan jenis pidana dan besaran ancaman pidana. Ketiga, penegasan secara eksplisit tentang kemungkinan merevisi KUHP melalui undang-undang lain. Dan yang terakhir pengaturan ihwal kompilasi dan publikasi undang-undang setelah melalui proses revisi. Selaras dengan hal tersebut, Eki menekankan bahwa pemerintah perlu melakukan revisi terhadap UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Hal tersebut disampaikan dalam kegiatan Panel 1 Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2021 bertajuk Uji Implementasi RKUHP terhadap Peraturan Perundang-undangan dan Hukum Acara pada Kamis (27/5/2021) secara daring. Konsultasi ini diselenggarakan oleh Bidang Studi Hukum Pidana STH Indonesia Jentera, Pusat Studi Kebijakan Kriminal Universitas Padjadjaran, Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana (PERSADA) Universitas Brawijaya, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) “Pengayoman” Universitas Parahyangan.
Lebih lanjut, Eki kemudian menjelaskan perihal situasi legislasi pidana di Indonesia yang memiliki dua karakter utama yakni ekspansi yang sangat luas terhadap materi undang-undang yang mengatur ketentuan pidana dan kecenderungan untuk memberikan sanksi pidana. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan ketentuan penghukuman yang tidak adil karena terdapat banyak kasuistik pemberian sanksi pidana pada perbuatan yang semestinya tidak diberikan sanksi pidana.
Berdasarkan penelitian yang Ia lakukan pada medio 1998-2014, menunjukkan bahwa dari 563 undang-undang yang diterbitkan terdapat 154 undang-undang yang memuat ketentuan pidana. Pada periode tersebut, terdapat 112 undang-undang yang memuat ketentuan pidana baru dan 154 undang-undang yang memuat revisi ketentuan pidana sebelumnya. Dari 112 undang-undang yang memuat ketentuan pidana baru tersebut, banyak memuat tindak pidana yang sifatnya pelanggaran. Sedangkan apabila mengacu pada pendekatan kriminologi, bobot pelanggaran nilainya tidak lebih tinggi dibanding kejahatan.
Eki juga menjelaskan bahwa pidana penjara masih menjadi pilihan bentuk hukuman. Lebih lanjut, kecenderungan pemilihan pidana alternatif kumulatif atau kumulatif, yakni baik penjara dan/atau denda, lebih mengemuka. Implikasi dari hal tersebut adalah ketika pidana berupa denda tidak dibayar, maka pelaku harus menggantinya dengan pidana penjara. Eki kemudian menegaskan bahwa permasalahan legislasi ini kemudian menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan persoalan kapasitas penjara yang kurang memadai.
Berkaitan dengan proses revisi KUHP, Eki menekankan kodifikasi dalam rancangannya perlu bersifat terbuka, sehingga memungkinkan dibentuknya undang-undang lain yang mengatur ketentuan pidana. Perlu ditentukan parameter khusus, yang digunakan untuk menentukan jenis delik yang masuk dalam KUHP. Eki juga menekankan bahwa parameter tersebut harus diatur dalam revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Selain Eki, webinar ini juga diisi oleh pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Aristo Pangaribuan, pengajar Kriminologi Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Palangkaraya, Nani Indrawati, serta dimoderasi oleh pengajar STH Indonesia Jentera, Estu Dyah Arifianti.