preloader

2016 ICON-S Public Law Conference: Di Manakah Letak Mahkamah Konstitusi Indonesia?

Perwakilan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STH Indonesia Jentera), Fritz Siregar, membawakan makalah yang berjudul “Indonesia Constitutional Court: Weak Court, Strong Court or Pretend to be Strong Court?” Makalah itu ditulis untuk memberikan kontribusi terhadap teori “strong court” dan “weak court” yang selama ini digunakan untuk menentukan status dari suatu mahkamah konstitusi (MK). Teori itu menyatakan apabila sebuah putusan MK tidak membutuhkan pengaturan lanjutan dari DPR, MK termasuk dalam kategori “strong court”. Kemudian, apabila sebuah putusan MK masih membutuhkan persetujuan DPR, MK itu masuk dalam kategori “weak court”. Dalam makalah yang mendapat respons sangat baik itu, Fritz mempertanyakan posisi dari Mahkamah Konstitusi Indonesia. Di manakah letak Mahkamah Konstitusi Indonesia,; berada dalam spektrum “strong court”, “weak court “atau “pretend to be strong court”?
Makalah tersebut dipaparkan oleh pengajar STH Indonesia Jentera pada 17—19 Juni 2016 ketika menghadiri 2016 ICON-S, International Society of Public Law Conference. Konferensi itu diadakan di Humboldt University, Berlin, Jerman. Sejak didirikan pada 2013, ICON-s adalah satu-satunya organisasi para pengajar hukum publik yang memiliki anggota mewakili hampir seluruh dunia. Tema utama yang menjadi fokus pada tahun ini adalah “Borders, Otherness and Public Law”.
Para pemikir utama dalam bidang hukum tata negara juga hadir dalam Konperensi ini di antaranya Ran Hirschl, Rosalind Dixon, Mark Tushnet, dan Tom Ginsburg. Bahkan, Federal Constitutional Court Germany juga terlibat dengan kehadiran Justice Susanne Baer yang memberikan pemaparan mengenai “Inequalities that Matter”. Bagian terakhir dari Konferensi itu ditutup dengan berdiskusi bersama Chief Justice Koen Lenaerts, President of the Court of Justice of the European Union, dan Chief Justice Guido Raimondi, President of the European Court of Human Rights.
Konferensi yang diselenggarakan selama 3 hari tersebut diikuti oleh peserta dari 53 negara dari berbagai belahan dunia. Hanya ada seorang perwakilan Indonesia yang hadir dalam konferensi internasional yang berfokus pada perkembangan hukum tata negara ini. Bahkan, perwakilan Asia juga sangat sedikit terlibat dalam konferensi ini. (FS)

Gallery slide