
Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menyelenggarakan Kuliah Pembuka Ilmu Perundang-undangan bertajuk “Problematika Perundang-undangan di Indonesia: Refleksi terhadap Tuntutan 17+8” pada Kamis (18/09/2025). Kuliah ini menghadirkan Guru Besar Luar Biasa STH Indonesia Jentera, Prof. Susi Dwi Harijanti.
Dalam paparannya, Prof. Susi mengulas akar persoalan legislasi di Indonesia yang memicu kemarahan publik dan melahirkan gerakan Tuntutan 17+8 pada akhir Agustus 2025. Gelombang protes tersebut dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 1000% di sejumlah daerah seperti Cirebon, tingginya gaji serta tunjangan anggota DPR di tengah kesulitan ekonomi rakyat, hingga tragedi meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang tewas tertabrak kendaraan taktis polisi saat demonstrasi.
“Tuntutan 17+8 ini mencerminkan bahwa rakyat sangat marah,” ujar Prof. Susi. Tuntutan tersebut, yang diberi tenggat waktu satu minggu dan satu tahun, mencakup berbagai agenda mendesak seperti pembentukan tim investigasi independen, pembatalankenaikan gaji DPR, pengesahan RUU Perampasan Aset, hingga reformasi total DPR dan partai politik.
Prof. Susi kemudian memetakan problematika perundang-undangan di Indonesia ke dalam dua kelompok besar, masalah pada tahap pembentukan, serta masalah pada tahap pelaksanaan, pengawasan, dan penegakan. Masalah dalam tahap pembentukan meliputi perencanaan yang bermasalah, prosedur cacat, pembahasan tertutup dan tergesa-gesa, substansi yang jauh dari kepentingan rakyat, dan kualitas pembentuk UU yang rendah. Sementara itu, pada tahap implementasi, masalah yang muncul adalah lemahnya penegakan hukum, pengawasan DPR yang minim karena mayoritas anggota berasal dari partai pendukung pemerintah, serta ketiadaan evaluasi terhadap efektivitas undang-undang yang telah berlaku.
Lebih lanjut, Prof. Susi menjelaskan soal konsep legislative omission, yaitu sebuah situasi di mana pembentuk undang-undang gagal memenuhi kewajibannya untuk membuat peraturan yang seharusnya ada. Contohnya dapat dilihat pada RUU Perampasan Aset dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang terus ditunda pembahasannya. “Ketika mereka menunda-nunda terus untuk membahas satu undang-undang yang memang penting, hal itu disebut legislative omission,” jelasnya.
Sebagai penutup, Prof. Susi menegaskan bahwa akar dari seluruh persoalan ini adalah partai politik. Menurutnya, perbaikan kualitas perundang-undangan tidak akan tercapai tanpa adanya reformasi besar-besaran di tubuh partai politik yang berfungsi melakukan rekrutmen para pejabat publik. “Bagi saya, sering kali yang berkontribusi membuat persoalan itu adalah partai politik karena partai politik itu punya berbagai macam fungsi dan terutama misalkan fungsi rekrutmen politik” tegasnya.
Ia menutup kuliah dengan mengutip Joseph Story, seorang mantan Hakim Agung Amerika Serikat, “Republik itu diciptakan oleh kebajikan, oleh semangat publik, dan kecerdasan warga. Republik itu akan runtuh ketika orang bijak diusir dari badan-badan publik karena mereka berani jujur”.
Diskusi yang dimoderatori Pengajar STH Indonesia Jentera, M. Nur Ramadhan dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.