preloader

Setelah Berakhirnya Survei Kemudahan Berusaha

 
Setelah 18 tahun sejak pertama terbit 2003, World Bank Group (WBG) pada rilisnya, 16 September 2021, secara resmi mengakhiri sepenuhnya penerbitan indeks kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB). Apa implikasinya bagi Indonesia?
Indeks EoDB adalah satu dari setidaknya 159 indikator kinerja global (Global Performance Indicator/GPI) yang tumbuh pesat dua dekade terakhir. GPI lain di antaranya Global Competitiveness Index (World Economic Forum), Rule of Law Index (World Justice Project), dan Corruption Perception Index (Transparency International).
Kelley & Simmons mendefinisikan GPI sebagai asesmen publik berkala yang memberi peringkat, ranking, dan mengategorikan kebijakan-kebijakan negara, kualitas, dan/atau kinerjanya. Menurut Doshi, Kelley & Simmons, maraknya GPI menunjukkan fenomena dominasi informasi sebagai alat pengambil kebijakan. Informasi mampu menggerakkan pasar, memengaruhi reputasi, memengaruhi keamanan nasional.
GPI seperti indeks EoDB bukanlah kompetisi, kepatuhannya timbul dari tekanan sosial.
GPI, khususnya yang secara spesifik membandingkan satu negara dengan negara lain, secara sengaja mengemas informasi untuk memengaruhi prioritas negara-negara, persepsi publik, dan keputusan pelaku ekonomi.
GPI telah jadi media tekanan sosial terbesar di dunia karena memang dibuat penyusunnya untuk mengubah situasi informasi pada kelompok komunitas tertentu dengan target mengubah perilaku kelompok itu. Tekanan sosial dilakukan lewat informasi (Doshi, Kelley & Simmons,2019).
GPI seperti indeks EoDB bukanlah kompetisi, kepatuhannya timbul dari tekanan sosial. Reputasi dan kredibilitas pihak yang mengelola indeks GPI merupakan faktor penting. Ini menjelaskan kenapa indeks EoDB sangat populer dan ada keputusan drastis WBG menghentikan penerbitan indeks EoDB, meski versi indeks yang sudah diperbaiki, dan menyesuaikan hasil survei China, Arab Saudi, dan Azerbaijan, telah diterbitkan pada 16 Desember 2020 sesuai protokol yang berlaku terhadap kesalahan data.
Otoritas EoDB sebagai indeks yang mampu memengaruhi kebijakan banyak negara terbukti dari fakta bahwa tak hanya Indonesia yang memakai EoDB sebagai rujukan. Dalam 10 tahun terakhir, pemimpin negara seperti Rusia, India, dan Inggris secara terbuka juga mengaitkan peringkat indeks EoDB sebagai target mereka.
WBG sendiri pada 2019 melaporkan telah terjadi lebih dari 3.500 pembaruan pada 190 negara yang mereka survei, meliputi 10 area regulasi usaha, dan mencapai puncaknya pada laporan 2019, ketika 128 negara melakukan 314 pembaruan sepanjang 2017/2018. Pada 2015, tak kurang 50 negara telah membentuk komite reformasi, yang menggunakan indikator EoDB sebagai input untuk program peningkatan kemudahan berusaha mereka.
Di Indonesia sendiri, komitmen reformasi untuk mendorong peningkatan peringkat indeks EoDB sudah ada sejak 2010. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 telah secara spesifik menargetkan Indonesia mencapai peringkat ke-75 indeks EoDB pada 2014.
Saat itu, peringkat kita masih perintkat ke-122. Setelah 2014, penggunaan indeks ini kian intensif. Indikator EoDB rutin muncul di berbagai dokumen perencanaan pemerintah. Bahkan, sejak 2013, EoDB menjadi salah satu prioritas nasional yang terus dipantau perkembangannya.
Perpres No 18/2020 tentang RPJMN 2019-2024 telah menargetkan RI mencapai peringkat 40 besar EoDB pada 2024, sementara Dokumen Visi Indonesia 2045 menargetkan RI mencapai posisi 10 besar pada 2045, selain berbagai komitmen dan instruksi verbal yang dikeluarkan pejabat pemerintah.
Sepanjang itu pula kalimat ”kemudahan berusaha” telah jadi mantra penting dalam agenda percepatan pembaruan dan menembus kebuntuan regulasi seraya menawarkan solusi out of the box yang harus diakui efektif bawa hasil konkret.
Bagi negara seperti Indonesia yang telanjur mengintegrasikan indeks EoDB ke sistem perencanaan dan birokrasi, perlu kejelasan pilihan yang bisa diambil.
Pekerjaan rumah ke depan
Setelah indeks EoDB resmi dihentikan, belum diketahui rencana WBG ke depan. Bisa jadi WBG akan mengembangkan indeks GPI baru, atau mungkin tak pernah ada lagi.
Bagi negara seperti Indonesia yang telanjur mengintegrasikan indeks EoDB ke sistem perencanaan dan birokrasi, perlu kejelasan pilihan yang bisa diambil. Hilangnya indeks ini membuat kekosongan signifikan di tingkatan perencanaan strategis dan program yang sedang berjalan di lapangan bisa seketika menjadi tak relevan.
Praktik untuk mengintegrasikan indeks GPI ke instrumen perencanaan sendiri bukanlah hal buruk karena keberadaannya sudah terbukti mampu mengakselerasi pembaruan dengan menunjukkan secara gamblang keunggulan, kekurangan, kisah keberhasilan, ataupun kegagalan opsi pembaruan dengan membandingkannya dengan model aturan global ataupun praktik terbaik di negara lain. Dengan begitu, pembuat kebijakan bisa lebih mudah menghitung biaya dan manfaat atas opsi kebijakan tertentu.
Kekosongan ini perlu segera disikapi. Ada setidaknya tiga opsi bagi Indonesia. Pertama, mengambil alih indikator-indikator yang ada di indeks EoDB dan mengadopsinya sebagai arahan resmi perencanaan strategis.
Kedua, mencari GPI lain sebagai pedoman. Ini tak mudah karena tak ada GPI yang sekomprehensif indeks EoDB yang meliputi indikator usaha sekaligus hukum. Ketiga, mengembangkan sendiri instrumen perencanaan pembangunan yang mampu memberikan arahan bagi perkembangan hukum ke depan dan mendorong daya saing.
Apa pun keputusan yang akan diambil, penting untuk memastikan bahwa laju reformasi regulasi atas agenda yang relevan dengan indikator-indikator pada indeks EoDB, seperti pembahasan RUU Jaminan Benda Bergerak, RUU Perubahan UU Kepailitan, RUU Hukum Acara Perdata, dan berbagai inisiatif lain, untuk berjalan sesuai dengan rencana.
Ini berarti perlu kerja sama antara berbagai pemangku kepentingan yang relevan, yang memiliki mandat atas isu-isu itu, karena agenda pembaruan pada indeks EoDB kebanyakan merupakan irisan antara indikator hukum dan indikator pasar, yang selama ini dikelola terpisah di negara kita sehingga perlu instrumen GCI untuk membantu pengambil kebijakan melihat gambar besar aspek yang diatur. Ini semua penting untuk dilanjutkan demi Indonesia, bukan untuk sekadar peningkatan peringkat indeks.
 
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/21/setelah-berakhirnya-survei-kemudahan-berusaha/?status=sukses_login&utm_source=kompasid&utm_medium=login_paywall&utm_campaign=login&utm_content=https%3A%2F%2Fwww.kompas.id%2Fbaca%2Fopini%2F2021%2F09%2F21%2Fsetelah-berakhirnya-survei-kemudahan-berusaha%2F%3Fstatus%3Dsukses_login&status_login=login