preloader

Kerusakan Etik Bernegara

Mohon maaf lahir dan batin. Susunan kalimat yang sederhana ini adalah pernyataan kerendahan hati yang luar biasa karena ia mendobrak perhitungan salah-benar berdasarkan aturan. Nilai kebajikannya sangat mendasar sehingga sekat agama sering tak penting. Kita semua saling memohon dan memberi maaf pada Idul Fitri. Sayangnya, salah-benar berdasarkan etik tidak dijalankan pada hari-hari lain oleh penyelenggara negara.

Etik berkaitan dengan timbangan-timbangan berdasarkan akal budi manusia yang menuntun perilaku kita. Dalam konteks bernegara, etik lebih mendasar daripada hukum dan aturan main formal yang dibuat dalam ruang-ruang politik, yang bisa tercemar oleh berbagai kepentingan politik kelompok. Etik didasarkan pada pemikiran tentang hakikat negara, yang pada awalnya (dan pada akhirnya) haruslah tentang warga negara, bukan tentang penguasa.

”Rakyatnya makmur terjamin”, seperti pada petikan lagu lawas tentang Idul Fitri karangan Ismail Marzuki, harus menjadi tujuan para pemimpin. Saat ini lagu itu bagi sebagian orang terasa salah karena bukan rakyat yang makmur terjamin, melainkan hanya sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan.

Orang-orang yang diuntungkan oleh kekuasaan kerap bertindak tak sesuai etik. Saat seorang pejabat negara, misalnya, menyatakan sebuah data untuk membenarkan pandangan tentang peristiwa politik, pejabat itu memiliki kewajiban etik untuk mengungkapkan sumbernya. Namun, saat sumber data dipertanyakan, pejabat itu berkeras mengatakan soal haknya untuk tidak mengungkap sumber data dan mengabaikan etik tentang bagaimana seharusnya penguasa bertindak.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (kanan) menyerahkan pandangan pemerintah terkait Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara kepada Ketua DPR Puan Maharani dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/1/2022). DPR mengesahkan Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara menjadi Undang-undang.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Begitu pula dalam hal membentuk peraturan perundang-undangan. Sejarah mencatat tentang proses kilat nirpartisipasi dilakukan saat DPR dan pemerintah merevisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi selama dua minggu, UU Mineral dan Batubara selama satu minggu, UU Ibu Kota Negara selama dua minggu, dan revisi UU tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan yang diselesaikan dalam satu minggu.

”Rakyatnya makmur terjamin”, seperti pada petikan lagu lawas tentang Idul Fitri karangan Ismail Marzuki, harus menjadi tujuan para pemimpin. Saat ini lagu itu bagi sebagian orang terasa salah karena bukan rakyat yang makmur terjamin, melainkan hanya sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan.

Ukurannya bukan berapa hari yang dihabiskan untuk pembahasan, melainkan apakah benar ada proses deliberasi yang melibatkan warga yang terdampak atau mempunyai perhatian terhadap berbagai undang-undang tersebut.

Protes terhadap proses ugal-ugalan seperti ini biasanya akan dijawab dengan menunjukkan jumlah ahli yang diundang rapat dan jumlah universitas yang menyelenggarakan seminar. Namun, kenyataannya, para ahli dan universitas sering kali hanya dijadikan legitimasi partisipasi. Artinya, dalam kasus-kasus tersebut, pembentuk undang-undang melanggar etik legislasi. DPR dan pemerintah memegang kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dalam demokrasi perwakilan yang semakin kompleks, jumlah suara saat pencoblosan menjadi tidak relevan sebagai dasar untuk bertindak atas nama rakyat.

Lembaga yudikatif juga tidak luput dari pelanggaran etik. Saat diterimanya gelar guru besar kehormatan oleh hakim, misalnya, pada saat pemberian gelar guru besar sedang menjadi isu yang dibahas dalam proses uji materi Undang-Undang tentang Guru dan Dosen. Demikian pula pada saat hakim mempunyai benturan kepentingan langsung dengan menjadi bagian dari keluarga seorang kepala pemerintahan, yang jelas punya kepentingan dalam proses legislasi.

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, seperti terlihat Jumat (24/5/2019).
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU

Kita bisa berdebat tentang apakah ada unsur dalam pasal dalam undang-undang atau kode etik (etik tertulis yang diformalkan). Namun, etik melampaui teks undang-undang dan kode.

Masih banyak contoh lain tentang rusaknya pilar-pilar etik bernegara hari-hari ini. Mulai dari pelbagai benturan kepentingan antara pejabat negara dan kalangan pebisnis sampai dengan banyaknya keluarga penguasa yang turut berkompetisi dalam pemilihan pejabat publik lainnya. Semua soal benturan kepentingan ini menimbulkan dilema etik.

Celakanya, penguasa sering kali mencari justifikasi tindakannya justru dengan hukum, dengan mengatakan tentang tidak adanya pasal atau kode etik yang dilanggar. Lantas pengadilan, mahkamah, atau dewan etik akan bersetuju.

Akibatnya, moralitas warga dan kepercayaan warga kepada hukum juga sedang dalam keruntuhan karena pemimpin tidak memberikan teladan dan merusak timbangan-timbangan etik warga dengan perilaku mereka. Kita hanya bisa berharap kepada warga negara yang berakal sehat, yang dapat mengukur moralitas penguasa. Percayalah, penguasa yang rusak etiknya akan semakin jatuh legitimasinya.

Editor: ANTONY LEE
Sumber: https://www.kompas.id/baca/analisis-politik/2022/05/04/kerusakan-etik-bernegara?status=sukses_login&status=sukses_login&utm_source=kompasid&utm_medium=login_paywall&utm_campaign=login&utm_content=https%3A%2F%2Fwww.kompas.id%2Fbaca%2Fanalisis-politik%2F2022%2F05%2F04%2Fkerusakan-etik-bernegara&status_login=login
Tanggal: 5 Mei 2022

Dipublikasikan oleh:

Bivitri Susanti

Bivitri Susanti merupakan pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.