preloader

Abolition Now Tour: Upaya Advokasi Anak Muda untuk Penghapusan Hukuman Mati

Alumni Jentera, Alviani Sabillah dan Rizki Zakariya bersama tim Hapus Hukuman Mati menghadiri 8th World Congress Againts The Death Pinalty di Berlin Jerman pada 14-18 November 2022 lalu. Kongres 3 tahunan tersebut diinisiasi oleh organisasi Ensemble Contre la Peine de Mort (ECPM) dan turut mengundang 1000 peserta dari 90 negara yang terdiri dari kalangan aktivis hak asasi manusia, politisi, dan tokoh masyarakat. Pada tahun ini, kongres mengambil tema besar “Let’s Rekindle the Abolitionist Flame!” sebagai bentuk dorongan dalam upaya penghapusan hukuman mati, khususnya pada negara-negara yang masih menerapkannya hingga saat ini.

8th World Congress Againts The Death Pinalty sekaligus menjadi puncak dari mobilisasi pemuda seluruh dunia yang dipimpin oleh ECPM selama setahun terakhir melalui program Abolition Now Tour. Program tersebut diikuti oleh lebih dari lima puluh anak muda dari enam negara yakni Amerika Serikat, Indonesia, Kenya, Kongo, Lebanon, dan Maroko, dengan tujuan akhir mendorong rumusan dan implementasi kebijakan penghapusan hukuman mati di negara masing-masing. Di Indonesia, advokasi telah berlangsung selama enam bulan dengan beberapa agenda edukasi publik seperti kampanye, diskusi, dan gerakan literasi.

Agenda kongres kemudian diisi dengan beberapa kegiatan seperti upacara seremonial, pemutaran film, diskusi, workshop, dan kegiatan sosial. Sebagai bagian dari peserta program Abolition Now Tour, Alviani dan Zaka secara khusus menghadiri dua agenda inti. Agenda pertama yakni diskusi bertajuk “Generasi Abolisionis Baru: Transmisi dan Inovasi”, yang diselenggarakan guna memperkuat komitmen dan pemberdayaan kaum muda secara umum. Agenda kedua yaitu workshop dengan tema “Abolition Now Tour: Apa Selanjutnya? Membangun Keterlibatan Berkelanjutan”. Lokakarya tersebut kemudian menjadi media guna mempresentasikan proyek advokasi yang telah dilaksanakan selama enam bulan terakhir dan gambaran umum terkait kebijakan hukuman mati di negara masing-masing.

Pada sesi workshop, Alviani dan Zaka bersama tim Hapus Hukuman Mati menyampaikan kondisi kebijakan hukuman mati secara umum yang masih berlaku di Indonesia. Pro dan kontra kebijakan hukuman mati sendiri masih menjadi diskursus publik di Indonesia, terlebih pada kasus-kasus besar seperti korupsi dan terorisme. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, ihwal hukuman mati masih diatur dalam beberapa ketentuan pidana seperti KUHP, Pengadilan HAM, Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Terorisme, dan Narkotika. Berbasis ketentuan tersebut, praktik penjatuhan hukuman mati pada proses peradilan masih terus terjadi, meski sejak 2017 pemerintah melakukan moratorium hukuman mati oleh karena desakan dunia internasional. Berdasarkan catatan KontraS pada 2021, 35 vonis hukuman mati telah dijatuhkan oleh hakim bagi 68 laki-laki dan 4 perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 60 orang merupakan terdakwa kasus narkotika. Akibatnya, terpidana mati harus menjalani masa deret tunggu dan ketidakpastian atas nasibnya. Komnas HAM bahkan menyebut rata-rata deret tunggu di Indonesia berkisar dari 5 sampai 20 tahun.

Tim Hapus Hukuman Mati kemudian menjelaskan salah satu penyebab penjatuhan hukuman mati yang masih diterapkan yakni berbasis perspektif masyarakat. Berdasarkan survey Litbang Kompas pada 2021, 56,4% responden menyatakan setuju dengan penerapan hukuman mati, sedangkan sisanya sebanyak 43,6% menyatakan tidak setuju. Beberapa alasan responden yang setuju hukuman mati adalah hukuman mati dapat menghadirkan ketegasan dan keadilan hukum, memberi efek jera, dan setimpal serta tidak bertentangan dengan HAM sebagai ganjaran atas kejahatan serius yang telah diperbuat. Sedangkan responden yang tidak setuju dengan hukuman mati beralasan bahwa hukuman mati bertentangan dengan HAM, tidak manusiawi, tidak sejalan dengan reformasi hukum, dan tidak sesuai dengan amanat serta semangat UUD 1945.

Tim Hapus Hukuman Mati menganalisis bahwa besarnya persentase masyarakat yang setuju tersebut dilatarbelakangi kekurangpahaman atas implikasi negatif hukuman mati seperti menyebabkan pidana berganda karena deret tunggu terlaliu lama, gagalnya upaya Mutual Legal Assistance dalam penanganan perkara akibat Indonesia masih menerapkan hukuman mati, dan kerugian-kerugian lainnya. Berangkat dari hal tersebut, tim Hapus Hukuman Mati kemudian melakukan advokasi selama enam bulan terakhir dan tidak menutup kemungkinan akan terus melakukan upaya lanjutan dalam mensosialisakan pada masyarakat umum, bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan HAM, tidak sesuai dengan tujuan guna menurunkan angka kejahatan, bahkan tidak sesuai dengan arah reformasi hukum yang banyak diterapkan negara di dunia.