preloader

Impunitas dalam Sistem Hukum Indonesia


Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Amnesty International Indonesia, Kelompok Kerja Indonesia-Belanda untuk Keadilan dan Pembangunan, dan Institut Van Vollenhoven dari Leiden Law School menyelenggarakan diskusi bertajuk Impunitas dalam Sistem Hukum di Indonesia pada Kamis (24/2/2022) secara daring. Diskusi ini adalah edisi kedua dari rangkaian Seri Webinar: Memahami dan Mengurai Impunitas di Indonesia.
Dalam diskusi terebut, pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi menuturkan bahwa impunitas terbagi menjadi dua jenis, yaitu secara de facto dan de jure. De facto impunity berarti negara gagal menuntut orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM karena tidak adanya kemauan berdasarkan pertimbangan politk tertentu. Sementara, de jure impunity berarti desain hukum atau peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit memberikan kekebalan dari penuntutan sehingga melindungi para pelaku kejahatan dari proses hukum.
Fachrizal menambahkan bahwa impunitas masih langgeng di Indonesia meski rezim Orde Baru telah berakhir dikarenakan prosedur hukum acara pidana masih memakai produk lama, desain kelembagaan aparat masih mempertahankan budaya lama sehingga tidak ada jaminan independensi, kewenangan Komnas HAM yang terbatas hanya sampai tahap penyelidikan, dan lemahnya political will pemberantasan impunitas.
Untuk mengatasi problem-problem tersebut, Fachrizal menuturkan pentingnya jaminan due process dalam konstitusi, mendorong akuntabilitas dan transparansi apparat penegak hukum, penguatan kontrol pengadilan dalam upaya paksa yang dilakukan oleh aparat negara, serta revisi KUHAP dan UU Peradilan Militer.
“Kita perlu menata ulang desain Kejaksaan dan Kepolisian yang independen dan profesional serta evaluasi tumpang tindih lembaga pengawas beserta model pengawasannya,” ungkapnya.
Pengajar The University of Melbourne’s Asia Institute, Ken Setiawan, menilai agenda hak asasi manusia pasca Orde Baru kurang spesifik. Meski begitu, Indonesia tetap menghasilkan beberapa produk hukum yang mengadopsi kerangka kerja hak asasi manusia seperti Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Perpu Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menambahkan Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia.
Selanjutnya, Indonesia kemudian mengesahkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang memungkinkan dibentuknya Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM ad hoc. Menurut Ken, undang-undang ini tidak selaras dengan hukum internasional karena mengecualikan kejahatan perang dan agresi serta mempersempit definisi kejahatan kemanusian sehingga membuka peluang terjadinya impunitas.
Dalam perjalanannya, Pengadilan HAM kemudian mengadili tiga kasus, yaitu kasus Timor Timur, kasus Tanjung Priok, dan kasus Abepura. Ken menilai hasil dari persidangan tersebut kurang efektif dan justru memperkuat budaya impunitas.
“Tidak efektifnya pengadilan HAM dikarenakan adanya persaingan antar instansi dan penolakan Kejaksaan Agung untuk melakukan penuntutan, dakwaan yang lemah, intervensi aparat penegak hukum sehingga sulit mewujudkan persidangan yang independen, dan minimnya kesadaran hakim atas prinsip hukum yang relevan,” jelasnya.
Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menambahkan bahwa pasca reformasi 1998, Indonesia terlalu fokus pada reformasi institusional, tidak diarahkan untuk “delivery of justice”. Ia menilai pemerintah tidak mau melenyapkan impunitas karena aktor politik pada dasarnya tidak mengalami perubahan mendasar, bahkan orang-orang yang diduga pelanggar HAM ada yang duduk di kursi kekuasaan. Selain itu, pendekatan developmentalism dan nasionalisme sempit yang difabrikasi oleh aktor politik juga melanggengkan budaya impunitas.
“Untuk bisa membongkar impunitas, kita tidak hanya harus membenahi sistem hukum, tetapi sistem politik yang mampu menghasilkan politik yang didasari pada gagasan negara hukum,” ungkap Bivitri.
Diskusi yang dimoderatori oleh Pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik ParahyanganTristam Pascal Moeliono bertujuan untuk mendukung upaya berbagai pihak dalam mengatasi masalah impunitas di Indonesia. Diskusi ini dapat disaksikan ulang di kanal YouTube STH Indonesia Jentera.